Coretan Sandi
Menulis membuatmu peka. Membaca membuatmu pintar
Selasa, 03 Maret 2020
Jumat, 07 Februari 2020
Di Tanah Rantau
Setelah Analisa tidak lagi menyediakan honor untuk tulisan yang dimuat, saya tidak berpikir mengirim tulisan lagi ke sana. Namun, saya juga tidak melayangkan surat penarikan atas naskah-naskah yang saya kirim sebelumnya.
Jadi begitulah. Puisi ini saya kirim ke Rubrik Cerpen & Puisi pada 2 November 2019, dimuat pada 29 Januari 2020. Saya telat mengetahui puisi ini dimuat, sebab saya tidak lagi berlangganan Analisa dan sering lupa memantau epaper-nya.
Jadi begitulah. Puisi ini saya kirim ke Rubrik Cerpen & Puisi pada 2 November 2019, dimuat pada 29 Januari 2020. Saya telat mengetahui puisi ini dimuat, sebab saya tidak lagi berlangganan Analisa dan sering lupa memantau epaper-nya.
Kamis, 23 Januari 2020
Akhirnya Aku Pulang
Sedari dulu kusadari posisiku di rumah ini. Andai mereka memiliki
pembantu, aku masih berada di bawah pembantu itu. Setidaknya kehadiran pembantu
karena memang dibutuhkan. Sedang aku tidak. Misal ada pilihan, tentu mereka
menginginkan aku tidak berada di rumah ini.
Kukerjakan pekerjaan pembantu, tanpa gaji. Bahkan aku yang mengerjakan
hal-hal yang seharusnya bisa dilakukan Todo dan Miska. Semua kukerjakan dengan ikhlas. Sedari dulu aku tidak bisa diam. Berlama-lama
tidak melakukan apa pun justru membuat badanku pegal.
Dari halaman depan sampai halaman belakang dapat
kukendalikan. Kutata halaman depan
dengan rimbunan bunga-bunga indah. Menghalau debu dari dalam rumah, mengolah
makanan hingga tampak lezat di atas meja makan, menyiapkan pakaian bersih dan
harum untuk mereka, hingga menggarap kebun kecil di belakang rumah. Di sana
kutanam beberapa jenis sayur seperti daun ubi, bayam, kacang panjang, dan
terong. Juga cabai, tomat dan bawang merah.
Sayangnya, tidak bisa kutahan waktu. Saat tenggelam
dengan pekerjaan, diam-diam waktu mengambil sedikit demi sedikit kekuatan
tubuhku. Selain membuat rambutku memutih dan kulitku berkerut, waktu pun
membuatku tidak setangkas dulu.
Punggungku pegal bila berlama-lama melakukan
pekerjaan. Bersebab lupa beberapa kali aku hanya tidur-tiduran padahal
seharusnya melakukan sesuatu yang penting. Aku sering melupakan pesan-pesan yang dititip
padaku.
Aku merasa bersalah. Terlebih di belakang pundakku
mereka mengeluh. Aku bertekad tidak mengulanginya lagi. Namun justru lebih
sering terjadi.
***
Namaku Sarmauli.
Aku tinggal di rumah Ester. Ester satu-satunya adikku setelah kebakaran
rumah membawa pergi dua adikku dan kedua orangtua kami beberapa puluh tahun
lalu. Beda usiaku dan Ester hanya tujuh tahun namun wajah kami lebih menyerupai
anak dan ibunya, atau mungkin seperti cucu dan neneknya.
Ah, bukan. Lebih menyerupai majikan dan pembantu
tuanya. Tidak banyak teman-teman Ester mengetahui kami kakak adik. Aku tidak
pernah terlihat setiap teman-temannya berkunjung ke rumah. Ester tidak meminta
begitu. Aku sangat mengenalnya. Ester setuju dengan keputusanku itu. Setiap
temannya datang, dia memintaku menyiapkan makanan ringan serta minuman kemudian
dia yang menghidangkan.
Ester bekerja di sebuah rumah sakit besar di Medan.
Kurasa posisinya lumayan hebat di sana. Aku tidak tahu pasti. Kami tidak pernah
bercakap-cakap selayaknya adik dan kakak.
Suami Ester bernama Parlin. Seorang polisi. Aku juga
tidak tahu pangkatnya. Tapi aku yakin pangkatnya tinggi sebab tidak jarang
polisi yang berkunjung ke sini selalu menghormat padanya. Tidak seperti Ester,
beberapa kali Parlin berkata pada teman-temannya bahwa aku kakak iparnya.
Bukannya senang, aku selalu risih melihat tatapan teman-temannya itu. Bisa
kutahu mereka nyaris tidak percaya.
Dua anak Ester dan Parlin, sekarang sudah sarjana. Yang
paling besar bernama Todo. Tidak lama lagi ia akan menikahi seorang dokter,
sama seperti dirinya yang juga dokter. Sementara Miska, sejak tamat kuliah
sekitar setahun lalu, tidak pernah melamar pekerjaan ke kantor-kantor. Ia
memilih berjualan di mal. Sementara
Miska sering bepergian keluar kota dan sesekali keluar negeri, jualannya di mal
itu dijaga beberapa pegawainya.
Pada awalnya, aku bahagia tinggal di rumah ini,
sebab aku sangat dibutuhkan di sini. Namun sekarang, ketika anak-anak sudah
besar dan aku semakin tua, bagi mereka aku hanyalah beban. Setiap Miska maupun
Ester mengeluh tidak puas dengan hasil pekerjaanku, Parlin mengusulkan
sebaiknya mereka menghadirkan pembantu saja.
Ester yang paling tegas menolak. Katanya, kalau begitu, apa fungsiku di
rumah ini.
Kalau begitu, jangan mengeluh. Kerjakan apa yang
bisa kalian kerjakan. Begitu kata Parlin.
***
Aku duduk di tepi tempat tidur. Meski hatiku pecah,
tidak ada airmata mengintip dari ujung mataku. Sedari remaja hidupku memang
keras, aku tidak terbiasa dengan airmata.
Belum satu jam yang lalu ruang tamu pecah. Lelaki
yang mencoba mendekati Miska datang
berkunjung. Aku tidak masalah ketika lelaki itu memanggilku ‘Bik’. Justru
Parlin yang menjelaskan, aku bukan pembantu. Aku kakak kandung ibu Miska.
Setelah lelaki itu pamit, Miska marah pada ayahnya.
Parlin menampar Miska. Kemudian Ester datang, ia meminta penjelasan apa yang
terjadi. Begitu tahu perkaranya, Ester marah padaku. Bukan masalah besar Ester marah padaku. Ini
bukan kejadian pertama. Ucapannya yang membuatku sakit hati. Katanya, dasar
perawan tua genit!
Parlin membentak istrinya. Diam-diam aku beringsut
dalam kamar tidurku.
Kini, aku masih duduk di tepi tempat tidur. Sedari
tadi mataku menatap lemari pakaian juga koper kecil di atasnya. Koper itu
seperti merayu memintaku memasukkan pakaian-pakaianku ke dalamnya. Lelah
merayu, lemari itu mengejekku, bahwa aku hanya semacam duri dalam daging di
rumah ini.
Tiba-tiba aku rindu rumah kami di tepi Danau Toba.
Sudah berapa lama rumah itu kutinggalkan?
***
Selain aku, hanya ada tiga penumpang lain. Satu
duduk di sebelah sopir, dua yang lain –kutebak suami istri- duduk di kursi
belakang sopir. Sementara aku duduk sendiri di kursi belakang. Aku dan
penumpang di depanku hanya terpisah sebaris kursi kosong, namun aku merasa
sangat kesepian serta sendirian.
Dari jendela yang terbuka kubiarkan angin menampar
wajah tuaku. Pandanganku terlempar keluar, sementara ingatanku terlempar
puluhan tahun ke belakang. Seperti baru tiga hari yang lalu kuantar Ester ke
Medan untuk mendaftar ulang di Fakultas Kedokteran USU. Rasanya seperti dua
hari yang lalu kubiarkan airmataku tumpah dalam perjalanan menghadiri
wisudanya. Seperti baru kemarin, Parlin memintaku tinggal bersama mereka di
Medan.
Ya, rasanya belum terlalu lama kulintasi jalan ini.
Menaiki minibus jurusan yang sama. Semua kulakukan demi Ester. Aku rela hancur
demi mewujudkan cita-citanya. Semua
kuberi padanya. Bahkan, aku menerima perlakuannya menikah diam-diam di Medan
karena ia malu hanya memiliki keluarga sepertiku.
Selama Ester kuliah, hidupku keras. Aku bekerja
keras di ladang, menenun ulos, bahkan terkadang membantu katering pesta. Semua
kulakukan supaya kuliah Ester tidak terhambat. Sampai kulupakan batang usiaku
menjulang, kuacuhkan ajakan satu dua lelaki yang berniat padaku.
Bagiku tak masalah. Ester yang paling penting.
Ketika Ester sudah bekerja kemudian menikah diam-diam, barulah kusadari,
seharusnya kusisihkan waktu untuk diriku sendiri. Semestinya kubuka sedikit saja pintu hatiku untuk lelaki.
Namun, sudah terlambat. Tidak ada lagi laki-laki yang berhasrat padaku. Memang
ketika itu usiaku masih 35 tahun, tapi hidup yang keras membuat wajahku memar. Jauh
lebih tua dari semestinya.
Kucoba melesapkan
masalah lalu itu di dasar ingatan dengan sebuah embusan napas keras.
Tatapanku beralih keluar. Aku tidak lagi mengenal jalan-jalan ini, membuatku
bertanya-tanya, kapan terakhir aku pulang kampung?
Setiap Ester bersama keluarganya pulang kampung, aku
selalu diminta tinggal menjaga rumah. Aku hanya mendengar cerita-cerita Todo
dan Miska sewaktu mereka masih kecil. Mereka, berkunjung ke makam orangtua kami
sebentar, berdiri di luar rumah kami, kemudian menghabiskan waktu yang banyak
untuk berjalan-jalan dan tidur di hotel.
Sekarang aku menggigil. Membayangkan berdiri di
depan rumah kami, mengunjungi makam orangtua dan saudaraku. Seharusnya sejak
dulu kulakukan ini. Tidak harus menunggu sakit hatiku menumpuk pada Ester.
***
Minibus yang kutumpangi berhenti di depan rumah. Tanganku
bergetar menggenggam anak kunci. Menatap ilalang tinggi di samping rumah serta
semak di halaman depan, mau tidak mau melemparkan ingatanku pada rumah Ester.
Di sana, tidak kuijinkan sebatang rumput tak berguna menumpang di halamannya. Sementara
di sini, rumah kami nyaris tenggelam disemaki ilalang. Padahal, semestinya di
sinilah aku tinggal.
Dua remaja menatapku dari halaman rumah sebelah. Kuberi mereka senyuman
serta anggukan kepala. Aku tidak tahu siapa mereka, tapi pasti anak dari orang
yang sangat aku kenal. Nanti, aku akan berkunjung ke sana.
Sebaiknya aku masuk saja. Tubuhku sangat lelah. Aku
harus membenahi beberapa tempat supaya tidurku nyaman malam ini. Beruntung juga kuizinkan beberapa keluarga
menempati rumah ini sebelum akhirnya benar-benar kosong sejak setahun lalu.
Setidaknya ia masih layak untuk kutempati sekarang.
Dengan susah payah kutapaki anak tangga. Daun pintu
berderit saat kudorong pelan.
“Akhirnya, kau pulang juga, Inang[1]. Sudah
terlalu lama kami menunggumu.”
Aku nyaris mundur, namun senyuman Ibu berhasil
menahan kakiku.
Tangan Ibu merentang di hadapanku. Kulemparkan
tubuhku dalam dekapannya. Rupanya belum kulupa bagaimana hangat dan nyamannya
dalam dekapan ibu. Kulihat ayah serta dua saudara laki-lakiku berjalan dari
dapur.
Senyum mereka hangat. Wajah mereka, serta wajah
ibuku, masih sama mudanya sebelum api membakar rumah dan melenyapkan tubuh
mereka, beberapa puluh tahun yang lalu.
Sekarang, mengapa mereka berada di rumah ini?
***
Binjai,
20 Oktober 2019
Cerpen ini dimuat di Rubrik Rebana, pada akhir November 2019. Agaknya, ini akan menjadi tulisan terakhir saya di Koran Analisa Medan.
Kenapa?
Sebab sejak tanggal 15 Desember 2019, setiap tulisan yang dimuat di Analisa tidak lagi diberikan honor.
:( :(
Begu Ganjang
Setelah tiga kali gagal, akhirnya cerpen keempat yang saya kirim berhasil menembus detik.com.
Pada awalnya, cerpen ini saya tulis untuk Lomba Menulis Mitos dan Legenda Sumatra Utara yang diadakan oleh Dinas Pariwisata Sumatra Utara 2019. Namun, cerita ini tidak berhasil memikat hati juri.
Kemudian, tanggal 3 Desember 2019 saya kirim ke detik.com. Ternyata berjodoh di sana, cerita ini tayang 4 Januari 2020 lalu.
Honor yang saya terima 496.500.
Bila tertarik membaca cerita saya ini, silakan klik di mari. Di sana juga tercantum email pengiriman cerpen ke detik.com serta persyaratan lainnya.
Langganan:
Postingan (Atom)