Selasa, 22 Desember 2009
Aku Tak Pernah Siap untuk Kehilangan
foto ini diambil sesaat setelah kejadian, tubuhnya jauh lebih hangat dari biasanya. pernapasan juga berdetak lebih cepat.
Kali ini aku harus kehilangan seekor anak ayamku. Ayam teletabis berwarna kuning. Sebenarnya, kehadiran anak ayam itu di rumah lumayan berliku juga. Awalnya keponakan membeli tiga ekor ayam teletabis. Berwarna kuning, ungu dan merah(yang berwarna merah kakinya empat).
Ayam-ayam itu tertinggal di rumah, karena ketika pulang ke rumahnya, si keponakan sudah tertidur pulas. Tanpa perjanjian, akhirnya kusahkan menjadi ayamku. Hanya beberapa hari, ayam ungu mati, lalu disusul yang kuning. Karena tinggal sendiri, yang merah jadi keseringan bengong. Maka kubelilah seekor ayam kuning untuk menjadi temannya.
Mereka teman yang akrab. Ayam yang kuning selalu mengekor di belakang yang merah, tidak segan merebut makanan yang sudah dipatuk si merah. Aku memang suka memelihara ayam. Tapi aku punya perhatian khusus dengan kedua ayam ini. Selalu kuletakkan di dalam kandang. Karena kalau dibiarkan berkeliaran sudah pasti menjadi santapan Kino, Kitaro, Manis, atau Saskia (nama-nama anjing tetangga).
Sesekali jika ada waktu, aku akan mengeluarkan kedua ayam itu dari dalam kandang dan memperhatikan mereka bermain dan mematuk-matuk di halaman belakang rumah. Biasanya ketika baru kukeluarkan dari dalam kandang, keduanya akan berlari ke sana kemari dengan mengepakkan sayapnya. Kalau itu manusia, mungkin sama dengan bertepuk tangan karena kegirangan.
Baru dua minggu lebih sedikit kedua ayam itu menjadi milikku. Aku menyukainya. Aku sering memperhatikan keduanya. Kelihatan sekali ayam yang kuning lebih bergantung kepada yang merah. Ayam itu akan ribut berkicau ketika menyadari ayam yang merah tidak ada dalam pandangan matanya.
Hari jumat, 18 Desember sekitar jam 2 siang, adalah hari yang naas bagi ayam yang kuning. Aku baru saja pulang dari suatu tempat dan mengeluarkan kedua ayam itu dari kandangnya. Keduanya dengan riang mengais-ngais tanah di belakang rumah, sedang aku duduk di pintu dapur. Seorang kerabat keluar dari rumah, ucapanku belum selesai agar ia berhati-hati, kakinya sudah menjejak ke bawah dan…menginjak anak ayam yang kuning. Kebetulan lantai di situ memang tidak rata, seperti undakan.
Aku terhenyak dan diam. Tidak mungkin marah kepada sang kerabat. Apa kata leluhurku kalau aku sampai marah hanya karena anak ayam yang terinjak? Ayam si kuning memang tidak langsung mati di tempat, ia seakan pingsan dan sekarat, lalu menghembuskan napasnya sekitar enam jam kemudian.
Ini memang kejadian sepele sekali, hanya terjadi pada seekor anak ayam yang belum berusia satu bulan. Tapi ayam adalah juga makluk hidup, ciptaan Tuhan. Tragis sekali, baru saja dia berlari kesana-kemari seraya mengepakkan sayapnya karena baru kulepas dari kandang, tiba-tiba dia sudah sekarat dan akhirnya menghembuskan napas sekitar enam jam kemudian. Aku tidak ingin berbuat konyol dengan mengatakan, andai saja aku tidak mengeluarkannya dari kandang, andai saja kerabat itu tidak menginjaknya, atau andai saja aku segera membawanya ke rumah sakit hewan dengan tidak ,membiarkannya terkapar selama enam jam(yang terakhir ini murni menyindir rumah sakit)
Ini juga bisa terjadi padaku, pada orang-orang yang kusayangi, orang-orang di sekitarku. Dan aku ingin, semuanya lebih ‘berarti’ ketika itu belum terjadi. Yang terpenting semoga itu tidak akan terjadi. Jika memang takdir hendak menjemput, kiranya dengan cara yang manis.
Ah, sesungguhnya aku tak pernah siap untuk kehilangan.
Bagaimana denganmu?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar