Aku punya teman, teman sepermainan (ini bukan lagu Ratu, lho!) dan kami masih punya hubungan saudara yang dekat, jauh lebih dekat dari rumah kami yang berdekatan. Terhadapnya, aku selalu menyimpan iri. Semakin membesar seiring waktu yang terus bergulir.
Apa pasalnya?
Ketika remaja, dia selalu memunyai pakaian yang bagus-bagus, setiap saat selalu bisa jalan-jalan bareng teman-temannya. Sedangkan aku hanya dibelikan baju setahun sekali, tidak bisa keluar rumah sepulang sekolah, karena harus membantu orang tua.
Selepas SMA, dia melanjutkan kuliahnya di Jakarta, di UI pula. Sedangkan aku harus meneruskan kuliah di Medan, di swasta pula. HIKS!
Setamat kuliah, aku merantau ke Batam dan dia tetap di Jakarta. Di sini, rasa iriku seperti berubah menjadi rasa minder terhadapnya, merasa diri tak berarti apa-apa dibanding dengannya. Ketika aku memeras peluh berjalan dari satu kantor ke kantor lain dengan menenteng aplikasi kartu kredit bahkan asuransi (ceritanya aku jadi MARKETING), saudaraku itu sedang enak-enakan naik pesawat dari satu kota ke kota lainnya, dalam rangka tugas kantornya.
Ketika aku bingung membagi-bagi agar uang di tanganku cukup, saudaraku itu mengirim uang kepada orang tuanya, mengirim pakaian kepada keponakannya. Sampai akhirnya, aku merasa Batam terlalu suram dan memilih pulang ke rumah, saudaraku itu tetap di Jakarta.
Di Medan setali tiga uang dengan di Batam, aku mendapatkan pekerjaan yang tidak asyik. Saudaraku itu selalu mendapatkan pekerjaan yang asyik luar biasa (dia bekerja selalu system kontrak). Sampai akhirnya di tahun 2006, aku memilih untuk konsentrasi menjadi menulis. Ceritanya aku ingin menjadi Penulis saja. Kubayangkan suatu saat kelak, aku bisa menyaingi saudaraku itu, dari menulis.
Aku kehilangan kabar tentangnya, atau katakanlah aku tidak ingin mendengar kabar kesuksesannya lagi. Sampai akhirnya, di awal tahun 2010 ini, aku mendengar kabar dia minta dikirimi uang sekian juta oleh orang tuanya, untuk uang kos dan lainnya. Ternyata, sudah lebih setahun dia tidak bekerja lagi.
Aku tidak bisa jabarkan, seperti apa perasaanku saat itu. Tapi aku mengerti, mengapa ia tidak mendapatkan pekerjaan lagi. Tentu saja, ketika usia sudah mencapai kepala tiga dan hanya menggenggam ijasah diploma tiga, tidak mudah menduduki posisi di suatu perusahaan.
Entah mengapa, mungkin aku yang tidak punya otak, ketika itu aku merasa lebih baik darinya. Atau tepatnya, aku merasa lebih beruntung darinya. Ketika pekerjaan yang dia pilih menuntut usia yang harus tetap muda, sementara pekerjaan yang kupilih buta dengan usia. Yah, aku merasa BERUNTUNG dan tidak salah memilih menjadi penulis. Walau memang, aku belum bisa menghasilkan yang maksimal, tapi jalan sudah kuretas. Tinggal kemauan kuat dan kerja keras, aku yakin kelak akan memanen hasilnya.
KETIKA KITA MENSYUKURI PEKERJAAN YANG KITA DAPAT, MUNGKIN KITA TIDAK MENDAPATKAN MATERI YANG MELIMPAH DARI SANA, TAPI SATU YANG PASTI KITA DAPATKAN: KEBAHAGIAAN!
curhat yang enak untuk didengar...
BalasHapusTerimakasih, Appara!
Hapus