Biarkan Aku Tetap di Sini
Namaku Lasma. Umurku 50 tahun. Aku masih gadis. Pernah beberapakali hampir
menikah. Pekerjaanku berjualan pakaian. Ada toko kecilku di pasar. Dari toko itulah hari-hari kulepas. Hanya
malam aku berada di rumah.
Di toko aku ditemani Esih, pegawaiku. Di rumah aku mempekerjakan Ningrum.
Rumahku tidak besar. Ada tiga kamar tidur. Aku dan Ningrum menempati
masing-masing satu kamar. Satu kamar lagi berganti-ganti ditempati keponakanku
yang menginap.
Aku anak ketiga dari enam bersaudara. Cuma aku yang belum menikah. Anak
keempat, bahkan baru saja menikahkan anak pertamanya. Keponakanku banyak,
sampai tidak pernah kuhitung berapa jumlahnya.
Keponakanku itu, datang dan pergi dari rumahku. Dalam kehidupanku.
Tidak sedikit keponakanku tumbuh di rumahku. Setelah mereka lumayan besar,
kembali ke orangtuanya. Tidak terlalu masalah bagiku karena kumengerti,
senyaman-nyamannya tinggal bersamaku, tentulah mereka lebih ingin tinggal
bersama keluarganya. Semua keponakanku tahu datang saja ke rumahku bila butuh
uang. Selalu kuberi bila kupunya. Tidak jarang orangtua mereka yang datang
meminjam. Tidak juga kumasalahkan bila pinjaman itu tidak dikembalikan.
Daripada mengingatkan mereka kupilih melupakannya saja.
Aku tidak ingin ada masalah, sekaligus aku tidak keberatan membantu. Kepada
siapa lagi mereka minta bantuan kalau bukan padaku. Lima saudaraku tidak ada
yang hidup berlimpah. Bukannya sombong, secara materi aku berada di atas
mereka.
Sayangnya, orang Batak memiliki filosofi bahwa anaklah harta yang paling
berharga. Mereka memiliki sedikitnya tiga anak. Sementara aku, menikah saja
tidak. Dengan angka 50 di tangan,
menikah sudah kulepas dari kepala. Hanya duda berkepala putih bersedia menikahi
perempuan seusiaku ini, atau lelaki pemalas yang ingin menumpang hidup di
rumahku.
Lebih baik tidak dari keduanya. Kuputuskan sendiri saja menjalani hari, menyongsong masa tua. Hidupku
memang tidak bahagia, tapi aku tidak ingin menderita. Menikahi lelaki tua sama
saja menjadikanku perawat pribadi yang tidak bergaji. Aku harus merawat suamiku
itu sekaligus mengambil hati semua anak-anaknya, bahkan juga cucu-cucunya. Anak-anak
dan cucunya itu bisa saja mengusirku bila kelak suamiku itu dipanggil Tuhan.
Maaf saja, lebih baik orang menggunjingku sebagai perawan tua daripada
mengalami itu semua.
Tapi tidak begitu bagi saudaraku. Mereka ingin aku menikah. Terserah dengan
siapa saja. Barangkali, andai aku menikah dengan lelaki tua yang napasnya sudah
di leher, dengan senang hati mereka akan memestakannya.
Aku tahu kok, yang ada dalam pikiran mereka. Mereka lebih memilih aku
sebagai janda daripada tidak menikah seperti sekarang. Mereka lebih bahagia aku
menderita menjadi istri pengganti daripada bahagia sebagai single.
Sampai sekarang saudaraku teramat bersemangat mengenalkanku dengan
pria-pria tua. Terutama kedua abangku. Aku sudah kebal untuk sakit hati dengan
lelaki-lelaki itu. Sebagian dari mereka bahkan berusia lebih tua dari mendiang
ayah kami.
Setelah kutolak, akan keluar ucapan-ucapan tajam dari bibir kedua abangku
itu. Aku diam saja. Telah lama hatiku kupolesi batu untuk hal seperti itu. Di
ujung ucapan tajam itu, tidak jarang mereka bilang orangtua kami pasti sedih
melihatku bila mereka masih hidup. Itu hanya tameng. Karena yang sebenarnya
mereka malu memiliki saudari gadis tua. Bisa kubaca itu dari tingkah mereka.
Dua bulan lalu, abangku membawa seorang lelaki ke rumah. Usianya 20 tahun
di bawahku. Melihat wajahnya bisa kutebak seperti apa orangnya. Begitulah.
Lelaki itu tidak normal. Dia, mohon maaf sebesarnya, kurasa lelaki idiot.
Seperti kubilang, aku tidak sakit lelaki seperti itulah yang hendak
dikenalkan padaku. Aku mengerti kok, perempuan sepertiku, berusia 50 dan tidak
cantik, memang tidak memiliki banyak pilihan perihal lelaki.
Aku tidak sakit hati. Tapi tolong, jangan mengucapkan kata-kata tajam bila
aku tidak bersedia mengenal lelaki itu lebih jauh lagi. Tolong hargai
keputusanku, seperti aku menghargai usaha mereka.
***
Uli datang ke tokoku di pasar. Uli adik perempuanku. Sekarang ia dipanggil Nai Nando. Aku lebih
suka memanggilnya Mak Nando. Nando itu nama anak sulungnya. Banyak orang
menduga dia kakakku. Hidup yang keras memaksa wajahnya melaju lebih cepat.
Hanya kami perempuan dari enam bersaudara. Aku anak ketiga, Uli anak
keempat. Kami berbagi kamar sedari kecil sampai dia menikah. Masa itu kami
terbiasa bertukar pakaian atau berbagi alat rias. Bahkan tanpa setahuku, kami
pernah berbagi kekasih. Jadi, suami Uli, dulu adalah kekasihku. Mereka menikah
sebab Nando bersemai dalam perut Uli.
Bayangkan sakitnya ketika kekasihmu menghamili adik kandungmu. Waktu itu
aku sampai tertawa sendiri sebab merasa bodoh. Bisa-bisanya aku tidak tahu
kekasihku menjalin cinta baru dengan adik kandungku. Mungkin waktu itu Uli
terpingkal-pingkal geli ketika kuceritakan betapa lemasnya lututku saat pacarku
itu menciumku.
Itu kisah lama yang tidak perlu kuceritakan sebenarnya. Sekarang aku sudah
memaafkan Uli dan suaminya. Tidak ada sakit hati kusimpan dalam hatiku. Walau
memang sesekali melintas di benak, andai waktu itu Uli berpikir sedikit lebih
waras, mungkin aku sudah beranak pinak dengan pacarku itu. Aku tidak masih saja
gadis di usia sekarang, hingga tidak perlu kulumuri hatiku dengan batu supaya
tidak sakit hati pada cibiran orang.
Sakit hatiku pada Uli memang sudah dikelupas waktu. Tapi kedekatan kami
tidak pernah kembali. Ada sekat antara kami. Sekat yang tidak kami ketahui
bentuknya. Kami juga tidak tahu di mana letak sekat itu hingga kami tidak bisa
merobohnya.
Melihat Uli datang tadi, aku tahu ada hal penting. Sebab dia teramat jarang
datang ke tokoku, juga rumahku. Aku bahkan sudah lupa kapan terakhir bertemu
suaminya, berkunjung ke rumahnya.
Uli datang hendak meminjam uang.
Mereka butuh modal untuk usaha Nando. Dua puluh juta, katanya. Kuberi sepuluh
juta tanpa mengajak Uli kembali pada sepuluh tahun ke belakang. Uli belum
mengembalikan uang lima juta untuk biaya persalinan anak bungsunya.
Wajah Uli girang menerima uang sepuluh juta itu. Kutawarkan beberapa potong
pakaian sebelum ia pulang. Aku tidak memasalahkan apa saja yang ia masukkan ke
dalam kantong belanjaannya.
Aku tersenyum saat ia pamit pulang.
Aku bahagia menemukan butiran bahagia menggenangi matanya.
Tidak sampai dua jam kemudian, butiran bahagia itu pupus dari mata Uli.
Bahkan matanya mengatup rapat, tidak
bisa kulihat lagi. Penyesalan berlapis-lapis menyerbu akalku. Andai saja tadi
Uli kutahan lebih lama di toko, kusuruh memilih lebih banyak pakaian untuk ia
bawa pulang. Andai tadi aku mengajaknya mampir ke kios bakso. Di sana kami
duduk berjam-jam sembari mengenang masa kecil kami.
Menatap wajah Uli yang kaku, aku teringat saat ia pamit pulang tadi. Andai
tadi kusaruk tubuhnya dalam dekapan untuk beberapa detik, mungkin saja Uli
tidak naik angkot naas itu. Mungkin Uli masih hidup. Mungkin ....
Pandanganku kabur. Air-air itu terasa hangat mengaliri pipiku. Batu-batu
yang melumuri hatiku pecah satu persatu.
***
Lihatlah wajah keempat saudaraku. Mereka bahagia Lamhot beserta keluarganya
melamarku. Lamhot mantan pacarku, suami Uli.
Tidak ada yang mencibir bila aku pengganti Uli. Si bungsu Agnes masih butuh
kehadiran ibu. Uli sudah mengembalikan apa yang semestinya milikku. Lamhotlah
takdirku, bukan lelaki lain.
Cintaku pada keempat anak Uli semakin mekar setelah kepergian Uli. Pun dulu
kumiliki cinta teramat megah pada Lamhot. Sekarang cinta itu memang sudah
memudar, tapi Lamhot dan aku pasti bisa memugarnya kembali. Tidak ada yang
terluka bila sekarang aku menikahi Lamhot.
Entahlah dengan Uli. Itu bisa kami selesaikan nanti, bila kelak aku
mati.
Kuterima Lamhot. Siapa bisa menduga, justru lelaki berambut keriting itulah
pelepas statusku sebagai gadis tua. Terkadang jalan hidup memang terlalu
menyakitkan untuk dilintasi. Tetapi takdir memaksa dan memodaliku kekuatan.
Beberapa saat sebelum aku menjadi ibu keempat anak Uli, kutatap mereka satu
persatu. Mereka tersenyum. Mereka tertawa. Kutemukan sesuatu yang sama di mata
mereka. Sesuatu itu membuat bulu
tanganku berdesir, tapi sekaligus aku ingin merengkuh mereka dalam pelukan.
Setelah kupikirkan kembali, tahulah aku jalan mana yang harus kulintasi.
“Maukah kau menikah dengan lelaki ini?” Di altar, seseorang bertanya
padaku.
Tidak, kataku!
Aku bisa serupa ibu bagi keempat anak Uli tanpa menjadi ibu mereka. Kelak,
mereka akan lebih menghargai cinta yang
kuberi tanpa mengambil posisi Uli.
Biarlah aku tetap berada di posisiku sekarang.
***
*Dimuat di rubrik Rebana, Harian Analisa Medan.
Yang saya posting ini, versi asli dari saya. JUdul dari saya: Biar Aku Tetap di Sini.
Saya kirim di bulan April 2018, dimuat 27 Mei 2018.
Ingin kirim ke Rebana?
Ini emailnya: rajabatak@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar