Senin, 28 Mei 2018

Biarkan Aku Tetap di Sini*





Biarkan Aku Tetap di Sini


Namaku Lasma. Umurku 50 tahun. Aku masih gadis. Pernah beberapakali hampir menikah. Pekerjaanku berjualan pakaian. Ada toko kecilku di pasar.  Dari toko itulah hari-hari kulepas. Hanya malam aku berada di rumah.
Di toko aku ditemani Esih, pegawaiku. Di rumah aku mempekerjakan Ningrum.
Rumahku tidak besar. Ada tiga kamar tidur. Aku dan Ningrum menempati masing-masing satu kamar. Satu kamar lagi berganti-ganti ditempati keponakanku yang menginap.
Aku anak ketiga dari enam bersaudara. Cuma aku yang belum menikah. Anak keempat, bahkan baru saja menikahkan anak pertamanya. Keponakanku banyak, sampai tidak pernah kuhitung berapa jumlahnya.
Keponakanku itu, datang dan pergi dari rumahku. Dalam kehidupanku.
Tidak sedikit keponakanku tumbuh di rumahku. Setelah mereka lumayan besar, kembali ke orangtuanya. Tidak terlalu masalah bagiku karena kumengerti, senyaman-nyamannya tinggal bersamaku, tentulah mereka lebih ingin tinggal bersama keluarganya. Semua keponakanku tahu datang saja ke rumahku bila butuh uang. Selalu kuberi bila kupunya. Tidak jarang orangtua mereka yang datang meminjam. Tidak juga kumasalahkan bila pinjaman itu tidak dikembalikan. Daripada mengingatkan mereka kupilih melupakannya saja.
Aku tidak ingin ada masalah, sekaligus aku tidak keberatan membantu. Kepada siapa lagi mereka minta bantuan kalau bukan padaku. Lima saudaraku tidak ada yang hidup berlimpah. Bukannya sombong, secara materi aku berada di atas mereka.
Sayangnya, orang Batak memiliki filosofi bahwa anaklah harta yang paling berharga. Mereka memiliki sedikitnya tiga anak. Sementara aku, menikah saja tidak.  Dengan angka 50 di tangan, menikah sudah kulepas dari kepala. Hanya duda berkepala putih bersedia menikahi perempuan seusiaku ini, atau lelaki pemalas yang ingin menumpang hidup di rumahku.
Lebih baik tidak dari keduanya. Kuputuskan sendiri saja  menjalani hari, menyongsong masa tua. Hidupku memang tidak bahagia, tapi aku tidak ingin menderita. Menikahi lelaki tua sama saja menjadikanku perawat pribadi yang tidak bergaji. Aku harus merawat suamiku itu sekaligus mengambil hati semua anak-anaknya, bahkan juga cucu-cucunya. Anak-anak dan cucunya itu bisa saja mengusirku bila kelak suamiku itu dipanggil Tuhan.
Maaf saja, lebih baik orang menggunjingku sebagai perawan tua daripada mengalami itu semua.
Tapi tidak begitu bagi saudaraku. Mereka ingin aku menikah. Terserah dengan siapa saja. Barangkali, andai aku menikah dengan lelaki tua yang napasnya sudah di leher, dengan senang hati mereka akan memestakannya.
Aku tahu kok, yang ada dalam pikiran mereka. Mereka lebih memilih aku sebagai janda daripada tidak menikah seperti sekarang. Mereka lebih bahagia aku menderita menjadi istri pengganti daripada bahagia sebagai single.
Sampai sekarang saudaraku teramat bersemangat mengenalkanku dengan pria-pria tua. Terutama kedua abangku. Aku sudah kebal untuk sakit hati dengan lelaki-lelaki itu. Sebagian dari mereka bahkan berusia lebih tua dari mendiang ayah kami.
Setelah kutolak, akan keluar ucapan-ucapan tajam dari bibir kedua abangku itu. Aku diam saja. Telah lama hatiku kupolesi batu untuk hal seperti itu. Di ujung ucapan tajam itu, tidak jarang mereka bilang orangtua kami pasti sedih melihatku bila mereka masih hidup. Itu hanya tameng. Karena yang sebenarnya mereka malu memiliki saudari gadis tua. Bisa kubaca itu dari tingkah mereka.
Dua bulan lalu, abangku membawa seorang lelaki ke rumah. Usianya 20 tahun di bawahku. Melihat wajahnya bisa kutebak seperti apa orangnya. Begitulah. Lelaki itu tidak normal. Dia, mohon maaf sebesarnya, kurasa lelaki idiot.
Seperti kubilang, aku tidak sakit lelaki seperti itulah yang hendak dikenalkan padaku. Aku mengerti kok, perempuan sepertiku, berusia 50 dan tidak cantik, memang tidak memiliki banyak pilihan perihal lelaki.
Aku tidak sakit hati. Tapi tolong, jangan mengucapkan kata-kata tajam bila aku tidak bersedia mengenal lelaki itu lebih jauh lagi. Tolong hargai keputusanku, seperti aku menghargai usaha mereka.
***

Uli datang ke tokoku di pasar. Uli adik perempuanku.  Sekarang ia dipanggil Nai Nando. Aku lebih suka memanggilnya Mak Nando. Nando itu nama anak sulungnya. Banyak orang menduga dia kakakku. Hidup yang keras memaksa wajahnya melaju lebih cepat.
Hanya kami perempuan dari enam bersaudara. Aku anak ketiga, Uli anak keempat. Kami berbagi kamar sedari kecil sampai dia menikah. Masa itu kami terbiasa bertukar pakaian atau berbagi alat rias. Bahkan tanpa setahuku, kami pernah berbagi kekasih. Jadi, suami Uli, dulu adalah kekasihku. Mereka menikah sebab Nando bersemai dalam perut Uli.
Bayangkan sakitnya ketika kekasihmu menghamili adik kandungmu. Waktu itu aku sampai tertawa sendiri sebab merasa bodoh. Bisa-bisanya aku tidak tahu kekasihku menjalin cinta baru dengan adik kandungku. Mungkin waktu itu Uli terpingkal-pingkal geli ketika kuceritakan betapa lemasnya lututku saat pacarku itu menciumku.
Itu kisah lama yang tidak perlu kuceritakan sebenarnya. Sekarang aku sudah memaafkan Uli dan suaminya. Tidak ada sakit hati kusimpan dalam hatiku. Walau memang sesekali melintas di benak, andai waktu itu Uli berpikir sedikit lebih waras, mungkin aku sudah beranak pinak dengan pacarku itu. Aku tidak masih saja gadis di usia sekarang, hingga tidak perlu kulumuri hatiku dengan batu supaya tidak sakit hati pada cibiran orang.
Sakit hatiku pada Uli memang sudah dikelupas waktu. Tapi kedekatan kami tidak pernah kembali. Ada sekat antara kami. Sekat yang tidak kami ketahui bentuknya. Kami juga tidak tahu di mana letak sekat itu hingga kami tidak bisa merobohnya.
Melihat Uli datang tadi, aku tahu ada hal penting. Sebab dia teramat jarang datang ke tokoku, juga rumahku. Aku bahkan sudah lupa kapan terakhir bertemu suaminya, berkunjung ke rumahnya.
Uli datang hendak  meminjam uang. Mereka butuh modal untuk usaha Nando. Dua puluh juta, katanya. Kuberi sepuluh juta tanpa mengajak Uli kembali pada sepuluh tahun ke belakang. Uli belum mengembalikan uang lima juta untuk biaya persalinan anak bungsunya.
Wajah Uli girang menerima uang sepuluh juta itu. Kutawarkan beberapa potong pakaian sebelum ia pulang. Aku tidak memasalahkan apa saja yang ia masukkan ke dalam kantong belanjaannya.
Aku tersenyum saat ia pamit pulang.  Aku bahagia menemukan butiran bahagia menggenangi matanya.
Tidak sampai dua jam kemudian, butiran bahagia itu pupus dari mata Uli. Bahkan matanya  mengatup rapat, tidak bisa kulihat lagi. Penyesalan berlapis-lapis menyerbu akalku. Andai saja tadi Uli kutahan lebih lama di toko, kusuruh memilih lebih banyak pakaian untuk ia bawa pulang. Andai tadi aku mengajaknya mampir ke kios bakso. Di sana kami duduk berjam-jam sembari mengenang masa kecil kami.
Menatap wajah Uli yang kaku, aku teringat saat ia pamit pulang tadi. Andai tadi kusaruk tubuhnya dalam dekapan untuk beberapa detik, mungkin saja Uli tidak naik angkot naas itu. Mungkin Uli masih hidup. Mungkin ....
Pandanganku kabur. Air-air itu terasa hangat mengaliri pipiku. Batu-batu yang melumuri hatiku pecah satu persatu.
***

Lihatlah wajah keempat saudaraku. Mereka bahagia Lamhot beserta keluarganya melamarku. Lamhot mantan pacarku, suami Uli.
Tidak ada yang mencibir bila aku pengganti Uli. Si bungsu Agnes masih butuh kehadiran ibu. Uli sudah mengembalikan apa yang semestinya milikku. Lamhotlah takdirku, bukan lelaki lain.
Cintaku pada keempat anak Uli semakin mekar setelah kepergian Uli. Pun dulu kumiliki cinta teramat megah pada Lamhot. Sekarang cinta itu memang sudah memudar, tapi Lamhot dan aku pasti bisa memugarnya kembali. Tidak ada yang terluka bila sekarang aku menikahi Lamhot.  Entahlah dengan Uli. Itu bisa kami selesaikan nanti, bila kelak aku mati.
Kuterima Lamhot. Siapa bisa menduga, justru lelaki berambut keriting itulah pelepas statusku sebagai gadis tua. Terkadang jalan hidup memang terlalu menyakitkan untuk dilintasi. Tetapi takdir memaksa dan memodaliku kekuatan.
Beberapa saat sebelum aku menjadi ibu keempat anak Uli, kutatap mereka satu persatu. Mereka tersenyum. Mereka tertawa. Kutemukan sesuatu yang sama di mata mereka.  Sesuatu itu membuat bulu tanganku berdesir, tapi sekaligus aku ingin merengkuh mereka dalam pelukan. Setelah kupikirkan kembali, tahulah aku jalan mana yang harus kulintasi.
“Maukah kau menikah dengan lelaki ini?” Di altar, seseorang bertanya padaku.
Tidak, kataku!
Aku bisa serupa ibu bagi keempat anak Uli tanpa menjadi ibu mereka. Kelak, mereka  akan lebih menghargai cinta yang kuberi tanpa mengambil posisi Uli.
Biarlah aku tetap berada di posisiku sekarang.

***


*Dimuat di rubrik Rebana, Harian Analisa Medan.
Yang saya posting ini, versi asli dari saya. JUdul dari saya: Biar Aku Tetap di Sini.

Saya kirim di bulan April 2018, dimuat 27 Mei 2018.

Ingin kirim ke Rebana?
Ini emailnya: rajabatak@yahoo.com



Tidak ada komentar:

Posting Komentar