Jumat, 10 Desember 2010
Cerpen: Aku, Lelaki Gelap!
Aku memang lelaki miskin. Tidak bersekolah tinggi, tinggal di rumah petak yang pengap dan bau kencing. Tapi jangan kau pikir aku lelaki baik-baik. Lelaki miskin baik-baik hanya ada di acara reality show, yang sering kau saksikan di televisi, sore hari, sembari mengunyah pisang goreng dan secangkir kopi, di rumahmu.
Aku kaya kejahatan. Catatan kejahatanku mungkin jauh lebih panjang dari daftar belanja bulananmu. Kau pikir, siapa yang membuang potongan-potongan tubuh manusia ke gorong-gorong tempo hari. Yang memerkosa wanita tua di hadapan suaminya sendiri beberapa waktu lalu. Yang memenggal kepala lelaki tambun berkulit putih dan mata sipit di simpang empat dan melemparkan tubuhnya ke comberan itu.
Itu aku. Aku yang melakukannya.
Siapa pula yang telah menyuap aparat sehingga bisa bebas tanpa berlama-lama meringkuk di sel? Dan siapa yang bisa membuat aparat pura-pura tidak melihat kejahatan di hadapannya?
Biar kujelaskan, dan buka telingamu lebar-lebar.
Aku juga.
Sudah kukatakan, aku memang miskin. Tapi akalku tidak pendek. Aku memang kejam dan bengis, serupa hantu ataumalah monster. Tapi kau harus percaya, aku masih punya hati. Mungkin hatiku lebih sering tidur daripada terjaga, tapi tetap saja aku punya hati. Ketika hatiku terjaga, aku akan berbuat baik.
Kau dengar, berbuat baik.
Tetapi memang lebih sering, ketika hatiku terbangun, justru mataku yang tidur. Jadi harap maklum saja, kalau perbuatan baik yang kulakukan tidak cukup banyak. Mungkin, tidak lebih banyak dari daftar amal seorang lintah darat.
Aku hidup sendiri. Tidak butuh istri. Karena istri hanya akan membuat kepala sakit dengan ocehannya yang mirip moncong senapan. Hanya akan membuat naik pitam ketika dia merengek minta dibelikan perhiasan, seperti istri tetangga. Aku tidak ingin ada perempuan seperti itu dalam kehidupanku. Kalau butuh kehangatan, aku tinggal menarik selimut tinggi-tinggi sampai menutupi seluruh tubuhku. Kalau yang kuingin adalah kehangatan yang cukup melelahkan, aku tinggal mendatangi lokalisasi pelacuran.
Lelaki miskin. Itulah aku. Tapi aku pintar. Aku pintar memanfaatkan apa yang ada demi keuntungan buatku. Kejadian apa yang tidak menguntungkan buatku. Saat gempa melanda Sumatera Barat, aku peroleh keuntungan yang tidak sedikit. Aku tinggal menempel selembar kertas di badan sebuah kardus mie instan dan berdiri di tepi jalan.
Uang-uang mengalir ke dalam. Memang uang kecil. Tapi jumlahnya cukup banyak ketika aku berdiri di tepi jalan selama dua hari. Cukup untukku berfoya-foya seminggu lebih. Ketika kutemukan seekor anak ayam berkaki empat, aku juga mendapat uang banyak dengan mempertontonkan kepada orang banyak.
Aku juga terkenal. Siapa yang tidak mengenalku di tempat tinggalku yang kumuh itu. Siapa yang tidak tahu nama dan kehebatanku di lokalisasi. Siapa yang tidak pernah merasakan kebengisanku di pasar. Dan siapa yang tidak tahu, kalau sebenarnya, aku sangat loyal kepada teman-temanku. Aku rela menahan lapar demi mengenyangkan perut temanku.
Aku pintar, tapi kadang aku bodoh kalau sudah dihadapkan dengan teman. Kau tidak percaya. Biar kuberi satu contoh. Dodo temanku, karena sesuatu hal, ia menjadi lumpuh. Ia tidak bisa bekerja lagi. Bagaimana bisa bekerja, mengangkangi istrinya saja dia tidak bisa. Maka kukangkangi istrinya berkali-kali, walau perempuan itu menolak. Aku tahu, perempuan suka segan menerima padahal dia butuh. Jadi kuanggap saja penolakan itu sebagai caranya agar tidak dianggap hina.
Lalu istri Dodo hamil. Itu adalah aib, karena orang usil akan menghitung-hitung usia kelumpuhan Dodo dan kehamilan itu. Maka kubantu istrinya. Dengan cara mencekik leher dan memotong tubuhnya dan membuangnya ke gorong-gorong.
Waktu itu beritanya sempat heboh. Kau maklumi saja. Sekarang ini terlalu banyak wartawan dan media. Mereka butuh banyak berita. Jadi jangan mengernyit ketika sedang bengong di depan televisi kau akan mendengar berita artis anu ketahuan buang angin di tempat umum. Berita kematian istri Dodo itu lama bertahan di media. Berbagai opini bermunculan. Aku sudah lupa apa saja tanggapan orang-orang sok tahu itu.
Sampai akhirnya berita itu tergeser skandal seorang pejabat yang ketahuan cekakak-cekikik dengan seorang gadis di kamar hotel.
Aku bebas. Tapi aku tahu, tetangga-tetangga Dodo masih membicarakanku dari belakang. Mereka hanya pura-pura tidak tahu bahwa akulah yang memutilasi istri Dodo.
***
“Kau semakin luar biasa!”
“Terimakasih.”
“Seperti Rocco Siffredi.”
“Kau tidak pernah bercinta dengannya. Kujamin.”
“Begitu yang kulihat di filmnya.”
Pengalaman Rocco Siffredi memang luar biasa, tapi kurasa, dia belum pernah bercinta dengan seorang wanita tua di depan suami wanita itu. Aku pernah. Wanita tua istri pejabat. Ia suka sekali menggoda lelaki-lelaki muda dengan iming-iming uang. Memaksa suaminya mengambil yang bukan haknya. Maka kugauli wanita itu di atas ranjang mereka. Gilanya, wanita itu menyelipkan nomor ponselnya di saku celanaku.
Kupikir, berita itu tidak akan tersiar kemana-mana. Aku salah. Sehari saja, beritanya menguasai media. Dan ujungnya, suami wanita itu, sang pejabat, meminta pengamanan lebih di rumah mereka dan mengusulkan pagar rumahnya diperbaharui, lebih canggih dan bisa mendeteksi keberadaan tikus sekalipun, berjarak dua meter dari pagar itu.
Dan aku, seperti biasa, tetap tak tersentuh.
“Tadi ada lelaki mata sipit mencarimu.”
“Siapa?”
“Tak bilang nama. Kurasa anak cukong yang kau bunuh tempo hari.”
“Pelankan suaramu! Mau apa dia?”
“Tak tahu. Hanya mencarimu.”
Untuk apa dia mencariku. Aku memang salah, karena membunuh bapaknya. Tapi bapaknya juga salah, telah membunuh banyak orang. Dia tebangi sesuka hatinya seluruh pohon di hutan di belakang kampungku. Ketika banjir bandang menerjang desaku, dia enak-enakan berlindung di balik ketiak perempuan muda, di Singapura apa di Hongkong sana. Sementara orang-orang yang sudah dia tutup mulutnya dengan uang, di sini, sibuk tunjuk sana dan tunjuk sini. Tidak ada yang benar-benar perduli dengan penderitaan yang dialami saudara dan para tetanggaku.
Jadi kubunuh dia. Dengan pertimbangan, akan terlalu capek jika aku harus membunuh semua orang-orang yang sudah dia tutup mulutnya. Pikirku, daripada harus menebangi banyak ranting-ranting, sekalian saja akarnya yang kucabut. Jika kemudian mayatnya kubuang di comberan itu dan bukannya kubuang ke laut, aku tidak ingin ikan-ikan menggerogoti tubuhnya dan kemudian hari giliranku yang menggerogoti ikan-ikan itu, di meja makan.
Sekarang, untuk apa anaknya datang mencariku? Tidak mungkin dia datang untuk membagi sedikit dari segunung uang yang ditinggalkan bapaknya itu.
“Kau harus berhati-hati.”
“Kepadanya kau ucapkan itu.”
“Aku perduli padamu.”
“Aku bisa membunuhnya juga. Kapan saja aku mau.”
Kulumat bibirnya sebelum keluar dari kamarnya. Berjalan aku di bawah malam lembab, bergerimis. Menuju rumahku yang kumuh dan bau pesing. Malam ini, aku ingin tidur saja. Aku enggan menemani malam dengan mabuk-mabukan di lokalisasi, atau di belakang terminal.
Kudengar suara itu. Suara bayi menangis. Sekencang yang ia bisa. Dari rimbunan semak di sisi jalan gelap. Aku tahu, ada seorang bayi baru saja dibuang di semak-semak itu. Tapi sekarang ini, hatiku sedang tertidur dan mataku sudah lebih banyak tertutup.
Tidak ada keharusan untuk mengambil bayi itu dan membawanya pulang. Aku melanjutkan langkah. Bayi itu menangis lebih kencang. Seolah dia tahu hanya kepadaku harapan hidupnya bergantung.
Tubuhku mematung dan tidak menoleh ke belakang. Sedang kuusahakan membangunkan hatiku yang sedang tertidur lelap. Napas kuhimpun sebanyak yang bisa kuhirup. Okelah. Akan kuambil bayi itu lalu kuletakkan di tempat yang lebih layak. Di depan gardu hansip atau di depan rumah orang, misalnya.
Kuambil bayi itu. Baru sepuluh langkah, kudengar lagi suara bayi di balik semak-semak. Satu sudah berada di tanganku, apa salahnya kuambil yang satu itu. Ternyata, banyak bayi di balik semak itu. Tak apa. Kuambil saja semuanya dan akan kuletakkan di depan rumah orang-orang. Tapi bayi-bayi itu tiada habis-habisnya. Seolah setelah kuambil satu akan muncul dua bayi lagi.
Letih. Aku terkapar di tanah dan bergetar hebat. Selama ini kupikir, akulah manusia terjahat di muka bumi ini. Ternyata, masih banyak yang lebih jahat dariku.
***
Dimuat di rubrik B'Gaul Harian Medan Bisnis, 5 Desember 2010. Terjadi kesalahan tekniks, karena tercantum Liven R sebagai penulisnya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar