Kamis, 09 Desember 2010

Tito



Tito pulang dengan langkah riang. Pada wajah putihnya kutemui bias merah, sisa dari tawa yang tadi meloncat dari bibirnya. Belum pernah kulihat dia sebahagia ini.

“Ayah, aku pulang!” katanya seperti biasa, setiap pulang dari sekolah. Tapi tidak pernah dia mencium tanganku, selalu aku yang mengacak rambutnya yang lurus sehingga menutupi dahinya.

“Bahagia sekali kau hari ini. Ceritalah pada Ayah.”

Ia membuka tas ransel yang sedari tadi tersampir di punggungnya. Ia mengeluarkan sepasang pakaian dari dalam. Aku tahu itu bukan pakaiannya, meskipun ukurannya sesuai dengan tubuhnya.

“Diberi seorang wanita tua. Ia minta dipanggil Nenek,” kata Tito tanpa kutanya dari mana dia dapatkan pakaian itu. Matanya seperti bintang berkilau menatapnya. Lalu ia menatapku, “Bagus, kan, Ayah?”

Aku seperti tidak mendengar pertanyaannya. Diberi seorang wanita tua. Ia minta dipanggil Nenek. Berarti Tito tidak mengenal wanita itu, dan wanita itu dengan berbaik hati memberi Tito sepasang pakaian.

Ada sesuatu yang mengusik ketenanganku. Ini tidak bisa didiamkan. Kemungkinan besar, wanita tua itu memiliki niat jahat kepada Tito.

Lalu kuminta Tito menjelaskan bagaimana kronologisnya sampai pakaian itu ada di tangannya. Katanya, saat melintasi gerbang sepulang sekolah, seorang wanita yang berdiri di depan sebuah mobil memanggilnya. Ia bertanya nama dan alamat. Wanita itu mengajaknya singgah di warung bakso, di depan sekolah. Sembari memakan bakso, wanita tua itu bertanya beberapa hal. Seperti bagaimana keadaan keluarga dan lingkungan tempat tinggal. Ketika akan pulang, wanita tua itu memberinya pakaian itu.

Aku penasaran, siapa wanita itu, apa yang dia inginkan sebenarnya. Kutanya pada Tito seperti apa ciri-cirinya. Ia seorang wanita berkulit putih dan tinggi. Hidungnya mancung dan rambutnya lurus, tapi seperti disanggul. Di akhir penjelasannya Tito berkata: ada tahi lalat di pelipis sebelah kiri.

Aku tersentak. Itu Hermayana. Nyonya Hermayana Sukardi!

Mau apa dia dengan Tito? Apa yang dia inginkan dengan pemberian sepasang pakaian ini?

Tito masuk ke dalam, memeluk erat sepasang pakaian itu. Aku tidak tega memintanya membuang benda itu. Di rumah kecil sederhana ini, aku tinggal berdua dengan Tito, tanpa sesiapa lagi. Sejak empat tahun yang lalu. Pun sebenarnya, selama enam tahun sebelumnya, kami juga hanya tinggal berdua di rumah sewa.

Safina meninggal ketika melahirkan Tito. Jika sampai hari ini aku tetap sendiri, itu adalah pilihanku sendiri. Dulu, di depan jenazah istriku, telah kupatri di hati, selamanya dia hidup dalam hati dan langkahku. Tidak akan pernah aku tergoda dengan perempuan manapun. Puji Tuhan, Dia juga mengizinkanku untuk tetap sendiri, bersama Tito.

Tidak terlalu sulit bagiku merawat Tito. Kebetulan aku bukan pekerja kantoran. Aku seorang pengarang cerpen, tapi sesekali juga menulis novel. Kami berdua hidup dari hasil tulisan-tulisanku. Memang tidak sampai bergelimang, tapi aku tahu, masih banyak orang di luar sana dengan taraf kehidupan jauh di bawah kami. Aku juga menikmati profesi ini. ketika sedang menulis atau membaca, aku tetap bisa mengawasi Tito.

Tito tumbuh menjadi anak yang mandiri. Ia bisa melakukan banyak hal, seperti mencuci piring dan pakaiannya sendiri. Seringkali juga dia membantuku memasak di dapur. Kami memang melakukan serba sendiri. Akan terlalu banyak pengeluaran jika memakai jasa orang lain.
***

Aku merasa tidak tenang hanya dengan mengingatkan Tito untuk menghindari wanita tua itu atau siapapun yang ingin mendekatinya. Maka kuantar Tito ke sekolah dan meninggalkan pesan kepada gurunya supaya tidak mengizinkan siapapun menjemput Tito selain aku. Setengah jam sebelum pulang sekolah, aku sudah duduk di warung bakso di depan sekolahnya. Jujur aku tidak tenang selama Tito berada di luar.

Aku mengenal Hermayana Sukardi dengan baik. Aku juga mengenal seluruh keluarganya. Mereka bisa berbuat apa saja, meski terhadap anak sekecil Tito. Memang belum kuketahui pasti apa tujuan mereka mendekati Tito, tapi bukan mustahil ingin membalas dendam.

Aku tidak heran mereka bisa mencium keberadaan kami. Mereka punya kekuasaan, punya mata dan telinga di manapun angin bertiup. Yang membuatku heran, mengapa baru sekarang mereka muncul. Setelah sepuluh tahun. Apa mereka sengaja menyimpan waktu agar aku lebih terluka? Setelah cintaku berakar kepada Tito, mereka akan melenyapkan Tito?

Ketika bel berbunyi, aku mendekati pintu gerbang. Tito terlihat gembira sekali ketika melihatku. Sudah lama sekali aku memang tidak pernah menjemputnya sepulang sekolah. Kebetulan jarak dari rumah tidak terlalu jauh dan tidak perlu menyeberang jalan. Jadi aku tenang saja melepasnya pulang dan pergi sekolah sendirian, sejak sebulan dia masuk sekolah.

“Memangnya kita mau kemana, Yah?” Tito menatapku.

Sebenarnya aku ingin segera pulang melanjutkan tulisanku. Tapi aku tidak ingin meredupkan cahaya bintang di matanya.

“Kita ke mal. Makan dan bermain sepuasnya. Kau suka?”

Kepala Tito mengangguk kuat-kuat.

Kugandeng tangannya, menuju motor yang kuparkir di bawah pohon. Leher Tito memutar ke belakang, seolah mencari-cari sesuatu, atau seseorang.

“Kau mencari apa?”

“Nenek itu. Dia bilang, akan datang lagi menemuiku. Membawa banyak mainan dan makanan. Semalam dia bertanya, makanan apa yang kusuka.”

“Ayah sudah bilang, jangan dekat-dekat padanya.”

“Tapi dia baik, Ayah!”

Kedua bibirku saling merapat. Belum. Belum saatnya kuceritakan kepada Tito. Ia belum mengerti apa-apa. Mataku mengedar, mencari-cari. Mungkin Hermayana Sukardi, atau siapapun itu, sedang berada di sekitar sini dan melihat kami berdua. Tentu saja dia memilih tidak mendekati Tito karena keberadaanku.

Sedang aku berada dalam posisi yang berbeda. Aku justru akan mendatanginya dan berkata: jangan coba-coba mendekati anakku apalagi berusaha melukainya. Tak akan kubiarkan itu terjadi. Karena dia anakku. Satu-satunya.

Tidak ada mobil terparkir di sekitar kami.
***

Tidak pernah kusangka, jika Haris Sukardi beserta istri, Hermayana Sukardi akan berkunjung ke rumah kami yang kecil dan sederhana. Terlepas tujuan mereka, aku sangat merasa terhormat. Mereka yang dulu mengumpatku dengan sebutan taik, tikus got, ataupun babi jalang, sekarang mengunjungiku.

Dari ekspresi muka mereka yang ketat dan terangkat ke atas, aku tahu anggapan mereka tentangku belum berubah. Jadi aku tidak merasa perlu beramah tamah, cukup menyilahkan mereka duduk di kursi teras dan tidak merasa sakit hati karena mereka memilih tetap berdiri.

“Mana cucu kami?” Hermayana Sukardi bertanya arogan. “Kami mau membawanya pulang. Dia tak pantas berada di kandang ayam seperti ini.”

Enak saja dia berkata Tito cucunya. Apa sudah ia lupakan perlakuannya sepuluh tahun lalu, di hari kelahiran Tito, di hari kematian Safina. Saat aku tiada daya berbuat apa-apa lagi, kudatangi rumah mereka, kulepaskan harga diriku pada titik minus, dan aku sudah menyiapkan diriku dicaci maki, bahkan dihancurkan sekalipun, asal mereka memberiku pinjaman uang. Untuk biaya operasi istriku yang tidak bisa ditunda lagi.

Aku memohon, jangan lihat aku. Tapi berbelas kasih sedikit saja dengan Safina yang tengah berjuang melawan maut. Apapun kesalahan yang pernah dilakukan istriku, dia tetap anak mereka. Bayi yang di dalam rahim Safina adalah cucu mereka.

Mereka mengusirku dan berkata, anak gadis mereka sudah mati ketika memilih meninggalkan rumah itu. Dan aku, akan menjadi orang paling bahagia di dunia ini, jika anak di perut istrimu itu juga mati, itu kata Nyonya Hermayana Sukardi, dulu.

Sakit maha sakit menerjang hatiku. Coba kupahami kekecewaan mereka. Anak gadis satu-satunya yang amat dibangga, meninggalkan kuliah demi menikah dengan pria yatim piatu sepertiku. Laki-laki yang selalu ngos-ngosan membayar uang kuliah karena tidak selalu cerpen-cerpennya bertebaran di media.

Mereka tidak tahu perjuanganku mengeluarkan Tito dari rumah sakit. Tidak mereka lihat penderitaanku sepeninggal istri dan harus membesarkan bayi seorang diri. Aku pontang-panting mencari uang demi menutupi bunga hutang dari rentenir. Aku mendamprat orang-orang yang berniat menukar Tito dengan setumpuk uang, untukku menyambung hidup.

Sekarang, setelah semuanya jauh lebih baik, dengan angkuhnya mereka datang, hendak membawa Tito dariku. Dalam tidur sekalipun, jangan pernah berani memimpikan hal itu.

“Akan kami bawa masalah ini ke pengadilan. Dan kau pasti tahu, apapun bisa kami lakukan,” Haris Sukardi berkata, sebelum mereka pergi.

Bawa saja ke pengadilan manapun kau suka. Tito tidak akan pernah pergi dariku. Aku ayah kandungnya. Aku yang merawat dan membesarkannya. Aku bisa memberikan yang terbaik kepadanya. Ingat itu.

Badanku berbalik, hendak masuk ke dalam. Kepala Tito menyembul keluar. Sepertinya sudah sangat lama dia berada di sana dan mendengarkan semuanya. Matanya menatapku tanpa kata.

Kuhela napas panjang. Mungkin, sudah waktunya kujawab dengan jujur pertanyaannya selama ini: di mana kakek dan nenekku?
Tito tidak banyak menyela ceritaku. Di akhir ceritaku, dia memasukkan kepalanya ke dalam pelukanku. Ia tidak berkata apa-apa. Aku juga. Mataku sempat memanas, tapi ini sangat membahagiakan, jadi aku tidak perlu menangis. Pelan kuelus kepalanya. Aku tahu, Tito tidak akan pernah pergi dariku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar