Ibu (Ingin Aku)
Pulang
Malam itu, sekitar jam sepuluh, ibu menelepon. Saat
ibu bertanya kabar, aku menebak-nebak berita yang hendak ibu sampaikan. Aku dan
ibu terbilang jarang bertelepon. Kami bertelepon bila ada berita penting saja.
Setelah kukatakan aku baik-baik saja, ibu menarik
napas panjang. Aku diam menunggu setelah ibu mengatakan dia juga baik-baik
saja.
“Adikmu akan menikah.” Ibu yang memecah kebisuan
kami. Pelan suara ibu. Seolah ibu perlu mengangkat ribuan kilo beban yang
menindih tubuhnya.
Johan, adikku nomor tiga. Dua adikku yang lain,
Tiarma dan Parlin, sudah menikah entah beberapa tahun lalu.
Mulutku tetap mengatub. Enam tahun lalu Johan resmi
menjadi seorang aparat. Aku tidak tahu apa pangkatnya sekarang. Tepatnya, aku
tidak paham tentang itu. Tidak sedikit uang ibu habiskan untuknya. Sepetak
tanah di kampung terjual, sebagai penambah uang dariku yang ternyata tidak
cukup. Padahal aku sudah menguras seluruh uang simpanan.
Tidak lama lagi, adikku yang tampan itu akan
menikah.
“Kau masih di situ?”
“Iya, Inang[1].”
“Sebetulnya Inang
kurang setuju Johan menikah secepat ini. Pihak perempuan tidak mau
berlama-lama. Mereka memberi pilihan, secepatnya atau perempuan itu menikah
dengan lelaki lain.”
Aku tidak berkata apa pun. Aku tidak ingin tahu,
misalnya, anak perempuan siapa calon istri Johan. Atau siapa namanya, apa
pekerjaannya, di mana rumahnya. Bahkan aku tidak ingin tahu, kapan tanggal
pasti pernikahan itu.
“Inang mau
kau pulang.”
“Tak bisa, Inang.
Pekerjaanku tak bisa kutinggal.”
“Inang
sudah bilang, tanggal pernikahan akan disesuaikan dengan waktumu.”
“Jangan begitu, Inang.
Lakukan saja. Ada atau tidak ada aku di situ, tidak ada pengaruhnya. Parlin
yang penting. Dia sebagai pengganti Amang[2].
Menemani Inang menghadapi semua
kerabat.”
Aku dan ibu membiarkan sepi memeluk kami berdua. Aku
ingin mengakhiri pembicaraan tapi tidak ingin menyakiti hati ibu. Mungkin masih
banyak yang hendak ibu bicarakan denganku.
“Akan kukirim uang dari sini. Inang tenang saja.”
“Bukan itu, Amang![3]”
Sahut ibu cepat. Jarang ibu memanggilku Amang, dan aku selalu suka dipanggil
demikian. Aku merasa anak yang disayangi ibu. Anak yang tidak mengecewakan
untuknya.
“Ada hal lain yang mengganggu pikiran Inang?”
“Inang ingin
kau pulang. Kau harus menemaniku di pesta itu.”
“Ada Parlin, Inang!
Dia yang pantas.”
Bisu lagi. Sampai kemudian kudengar isak ibu dari
seberang. Aku tidak bertanya mengapa ibu menangis karena aku sibuk memapah
hatiku yang limbung. Aku mengerti tangisan ibu. Bukan sekali ini ibu menangis
di telepon tanpa mengatakan mengapa ia menangis.
Ibu menangis saat mengabarkan Tiarma hendak menikah.
Demikian juga ketika mengabarkan Parlin yang menikah. Aku lupa kejadian itu
entah berapa tahun lalu. Sering aku tidak lagi peduli dengan tahun-tahun yang
terus berjalan.
Isakan ibu kali ini terasa begitu menyayat. Lebih
menyedihkan dari yang sudah-sudah.
“Anak baiknya kau, Amang. Kau bantu sekolah adik-adikmu. Lebih kau urus perut
adik-adikmu daripada sekolahmu. Perhatian kau sama inangmu
ini. Kenapa nasibmu seperti ini?”
“Sudahlah, Inang.”
Mulutku terasa jauh lebih berat. “Aku bahagia dengan hidupku ini. Tak usah Inang tangisi.”
Aku tahu ibu berusaha menahan ledakan tangisnya. Andai
tak ada jarak memisah aku dan ibu, akan kulihat derasnya air mengalir dari
kedua mata lelahnya. Pada saat itu, tidak bisa kujamin aku tidak turut menangis
bersamanya.
Sekarang mataku memang tidak berair. Tapi hatiku
sangat sedih. Aku sadari, kesendiriankulah sumber kesedihan ibu. Tidak
menikahnya aku sampai sekarang serupa batu sebesar kepalan tangan dewasa
menyesaki hati ibu.
Andai bisa memilih, pastilah ibu ingin aku yang
menikah. Bukannya Johan. Umurku nyaris 42 tahun, sementara Johan masih 25
tahun. Aku juga ingin menikah. Sayangnya Tuhan belum menghendaki itu terjadi.
“Pulanglah!”
Kurasakan dingin mengelus kulit. Aku terakhir pulang
sekitar tiga tahun lalu, dan ibu tidak pernah memintaku pulang. Saat Tiarma dan
Parlin menikah, aku pun tidak pulang.
Hanya uang yang kukirim untuk ibu. Ibu pun tidak memintaku pulang.
Mengapa kali ini ibu tidak memahami perasaanku?
Tidak mudah menghadiri pernikahan seorang adik sementara aku sendiri belum
menikah pada usia yang amat matang. Aku tidak siap menjawab pertanyaan orang,
juga membalas tatapan mereka padaku.
“Aku menunggumu. Kau dengar?”
***
Kepala bersandar dan mataku memejam saat pesawat
terangkat ke udara. Aku tidak suka ketinggian, termasuk di dalam pesawat.
Perjalanan dua jam lebih ini akan membuatku tegang. Pernah pesawat yang kunaiki
berguncang hebat. Aku tidak bisa berbuat apapun selain memegang erat kedua
tangan kursi. Pengalaman itu semakin menambah keteganganku menaiki pesawat.
Kutebak, saat pesawat jatuh, aku tidak bisa berbuat apapun selain pasrah. Lain
misal ketika kapal laut tenggalam, setidaknya aku masih bisa berlarian ke sana
kemari, berusaha menyelamatkan diri.
Akhirnya kuputuskan pulang. Padahal sebenarnya aku
hanya semacam penggembira saja di pesta pernikahan Johan nanti. Memang aku anak
tertua ibu, tetapi aku tidak bisa menjadi pengganti bapak karena aku belum
menikah. Bagi orang Batak, seseorang yang belum menikah tidak terhitung dalam
adat. Jadi nanti, Parlin yang menggantikan posisi almarhum bapak.
Aku tidak ingin ibu semakin sedih. Itu sebab
kuputuskan pulang. Aku juga harus belajar
menerima kenyataan, belum menikah di usia sekarang. Andai beberapa tahun ke
depan masih sendiri, tidak mungkin aku terus menghindari orang lain.
Ibu tidak tahu aku pulang. Biarlah. Bukan niatku
ingin buat kejutan. Keputusan ini yang sangat tiba-tiba. Entah kenapa subuh
tadi dorongan pulang sangat mendesak. Kusiapkan ransel besar saat dorongan itu
gagal kutahan. Pekerjaanku sebagai pedagang membuatku tidak repot-repot harus
minta izin pada siapa pun. Aku hanya perlu menarik uang dari ATM, untuk
berjaga-jaga di kampung tidak bisa kutarik.
Pesawat ini akan tiba di Kualanamu sekitar jam 1
siang. Untuk tiba di Pangururan, kabupaten Samosir, setidaknya lebih dari lima
jam. Berarti aku akan tiba di rumah setelah matahari lelap di peraduan. Besok
pernikahan Johan. Malam nanti rumah kami pasti
ramai. Kerabat dan tetangga akan datang ke rumah, mengantarkan tumpak[4].
Melihatku datang nanti, semoga kebahagiaan ibu sempurna.
Karena deminya aku pulang.
Kursi yang kududuki tepat di samping jendela, namun
tidak pernah mataku mengalih keluar. Kuusulkan bertukar posisi pada lelaki yang
duduk di sebelahku sebab sedari tadi lehernya menjulur ke jendela. Ia
mengangguk cepat sembari mengucap terima kasih.
Sekarang aku diapit remaja dan perempuan tua. Aku
sedikit merasa lebih nyaman.
***
Usiaku belum mencapai dua puluh ketika merantau ke Jakarta. Yang kumiliki hanya
ijazah SMP, jadi ia tetap tersimpan dalam sebuah map di lemari kami. Saat
memutuskan merantau, yang ada dipikiranku hanyalah mendapatkan uang sebanyak
yang kumampu. Apa pun akan kukerjakan, asal halal. Uang itu akan kukirim ke
kampung. Supaya beban ibu tidak terlampau berat.
Aku percaya pada ibu, ia mampu menghidupi ketiga
adikku. Tapi aku ingin ibu bekerja tidak terlampau keras. Ibu sudah terlalu
lelah membesarkan kami setelah bapak meninggal tiga bulan sebelum Johan lahir.
Maka itulah yang kulakukan di Jakarta. Apa pun
kukerjakan. Apa pun. Asal halal. Uang-uang itu kukirim ke kampung. Beberapakali
ibu bilang tidak usah mengirim karena kirimanku terdahulu masih ada. Aku tidak
mengindahkannya sebab tahu ibu bohong. Aku tahu ladang-ladang tidak lagi
menghasilkan. Bawang merah yang ditanam ibu hanya menghasilkan buah sebesar
biji jagung. Batang-batang padi menguning karena hujan tidak pernah singgah di
kampung kami.
Waktu terus merambat hingga batang usiaku makin
kokoh. Tiarma telah menjadi perawat. Parlin sarjana Teknik kemudian menjadi
pegawai negeri. Tiarma dinikahi seorang
polisi dan Parlin menikah dengan guru sekolah negeri. Sementara di Jakarta aku
tetap sendiri. Keinginan menikah tidak lagi semenggebu ketika usiaku di ujung
20, atau di awal 30.
Setelah adik-adikku tidak lagi butuh sokongan, mereka
seolah melupakan ada ceceran keringatku dalam kesuksesan mereka. Tidak terlalu
masalah bagiku. Aku bahagia mendengar hidup mereka mapan, berbahagia bersama
pasangan dan anak-anak mereka. Aku tidak mengharap balas jasa, karena tujuanku
adalah membahagiakan ibu.
***
Jam enam sore saat aku menaiki kapal kecil di
pelabuhan Ajibata, Parapat. Setelah mengarungi Danau Toba sekitar 45 menit, aku
tiba di Tomok, Pulau Samosir. Dari sini, lebih satu jam aku berada di dalam
sebuah angkutan ketika akhirnya tiba di Pangururan.
Malam benar-benar sempurna saat aku turun dari
angkutan. Dadaku sesak berbagai sebab. Sekarang aku berada di tanah dan langit
masa kecilku. Sebentar lagi aku akan berdiri di hadapan ibu, menatap wajahnya.
Pasti wajah ibu kian disemaki keriput.
Aku melangkah pasti. Rumah kami tidak jauh di depan. Hanya tinggal melintasi satu jalan
kecil. Dari tempatku berada sekarang, bahkan seperti kulihat atap rumah kami. Kemudian
tampaklah rumah yang terang. Pintu terbuka lebar. Beberapa orang duduk di luar.
Seperti tebakanku, rumah kami pasti ramai malam ini.
Langkahku kian cepat. Lalu kusadari ada yang salah. Sesuatu
yang berada di ruang tengah seperti merampas jantungku. Aku terlempar ke masa
lalu. Saat seseorang menjemputku dari sekolah kemudian dihadapkan pada sosok
bapak yang terbaring di ruang tengah rumah kami.
Kuterobos pintu yang terbuka. Kucari wajah ibu untuk
bertanya, sosok siapa yang terbaring di tengah rumah kami ini. Hanya ada wajah
Parlin, wajah istrinya, wajah Tiarma, wajah suaminya, wajah Johan, wajah
perempuan yang tidak kukenal, wajah sepupuku, wajah tulang[5]ku, wajah bapauda[6]ku,
wajah tetanggaku. Tak ada wajah ibu.
Tubuhku menegang.
“Gara-gara memikirkanmu, Inang jatuh di kamar mandi. Sekarang, sudah terlambat kau pulang.”
Parlin menunjukku. Ia sangat marah.
Tiarma mangandung[7].
Meminta ibu membuka mata karena aku sudah pulang. Menyesalkan kenapa ibu
terlalu memikirkanku.
Lututku menghantam lantai. Ingin kurengkuh tubuh
ibu, membelai wajahnya. Berbisik di telinganya, sekarang aku sudah pulang. Aku
ingin mengajak ibu kembali pada masa kecilku. Memohon pada ibu agar selamanya
kami berada di sana.
Tetapi ibu tak dapat kurengkuh. Kurasakan tubuhku
semakin jauh dari ibu. Bertambah jauh.
***
Binjai,
22 Oktober 2016
[1]
Ibu. Bahasa Batak Toba
[2]
Ayah. Bahasa Batak Toba
[3]
Digunakan juga sebagai ungkapan sayang, bangga dan hormat kepada anak laki-laki.
[4]
Uang sebagai bantuan mahar
[5]
Saudara lelaki ibu
[6]
Adik lelaki ayah
[7]
Meratap sembari berbicara tentang yang diratapi
*Dimuat di Rubrik Rebana Harian Analisa Medan, 29 Januari 2017.
Rubrik ini terbit setiap hari Minggu.
Ingin mengirim cerpen atau puisi ke rubrik Rebana?
Ini emailnya: rajabatak@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar