Minggu, 12 Maret 2017

Perempuan Hendak Menikahi Dokter





Perempuan Hendak Menikahi Dokter


Dr. Prambudi Hamonangan Situmorang. 39 tahun. Lajang. Sedang mencari istri.
Terlalu bodoh bila Tika membuang peluang mengenalnya. Empat hal tentang lelaki itu amatlah menggoda. Dua kriteria utama yang disebut Dewi bisa ia penuhi. Dokter Pram menginginginkan perempuan pekerja  usia kepala tiga.

Atika Putri Marpaung kini 36 tahun. Menjabat kepala kasir di sebuah supermarket  ternama di Medan.
“Ia bertugas di Singkawang. Memang hanya dokter puskesmas.” Tambah Dewi.
Tidak masalah bertugas di daerah mana. Di rumah sakit atau puskesmas. Bagi Tika, ia tetaplah seorang dokter, profesi yang amat dikagumi masyarakat. Demi lelaki itu, Tika tidak akan berpikir dua kali meninggalkan pekerjaannya di sini. Ia bisa cari kerja di Singkawang. Bahkan ia tidak keberatan walau kelak hanya menjadi ibu rumah tangga. Tentu menyenangkan mengurusi rumah dan anak, berkebun di halaman belakang dan menghiasi halaman depan dengan aneka bunga.

“Bagaimana wajahnya?” Sungguh, tanya ini hanya basa-basi. Tidak mengapa bila Dokter Pram berwajah biasa saja. Tika sendiri tidak terlalu cantik. Menurutnya, bila pun wajah Dokter Pram di bawah standart, pasti tertutupi oleh profesinya.
“Aku tak kenal.”
“Lho?”
“Tetanggaku keluarga jauhnya. Dokter itu minta dicarikan istri.”
Setahu Tika, gadis-gadis Singkawang sangat cantik, kulit mereka langsat. Sangat mengherankan Dokter Pram tidak menemukan satu yang ia sukai.
“Katanya, ia menginginkan gadis Batak juga.”
Tika mengangguk mengerti.
“Itu juga keinginan orangtuanya. Harus perempuan Batak. Dua abangnya menikah bukan dengan perempuan Batak.”
“Orangtuanya di Medan?”
“Nanti kutanya tetanggaku itu. Jadi, kau mau berkenalan dengannya?”

Tentu saja Tika mau. Peluang seperti ini belum tentu muncul sekali lagi dalam kehidupannya. Dokter berusia 39 tahun mencari pasangan berusia kepala tiga? Andai pun dokter itu mencari pasangan duapuluh tahunan, Tika yakin sangat mudah ia dapatkan.

Sembari menunggu langkah selanjutnya, Tika mencari-cari di facebook maupun twitter. Ia gagal mendapatkan nama itu. Hanya ada beberapa yang menyerupai. Gadis berambut lurus itu mencoret dari daftar setelah membaca profil mereka.
Selang dua hari, Dewi mengabarkan nomor teleponnya sudah di tangan Dokter Pram. Menurut kerabat jauh dokter itu, Dokter Pram sangat antusias begitu tahu gadis pemilik nomor telepon itu bermarga Marpaung. Serupa dengan marga ibunya. 

Seperti tebakan Dewi, malam itu juga Dokter Pram mengirim sms perkenalan pada Tika. Gadis itu membalas dengan datar, setelah mengabaikan sekitar duapuluh menit. Sebagai perempuan, Tika wajib sedikit jual mahal. Jangan sampai Dokter Pram mengetahui betapa harapnya meluap.

Keduanya saling berbalas sms. Tika menyukai komunikasi pertama mereka ini. Agaknya Dokter Pram paham betul, tidak perlu menelepon pada perkenalan awal. Bila Dokter Pram meneleponnya, bukan mustahil mereka akan terjebak dalam pembicaraan seperti interview demi  sebuah pekerjaan.

Tika memekik kesal setelah pembicaraan mereka selesai. Ia lupa minta akun sosial media Dokter Pram.  Tidak mungkin ia meminta sekarang sementara sms terakhir lelaki itu berisi: Happy good night. Mimpi yang indah, ya. Tuhan memberkati.
***

Atika Putri Marpaung merasa hidupnya jauh berbeda dari seminggu lalu. Bila seminggu lalu ia menjalani hari dengan rutinitas yang membosankan, kini harinya penuh harapan. Amat berat melajang dalam usianya sekarang. Pertanyaan kapan menikah silih berganti dihujamkan padanya. Baginya, pertanyaan itu serupa dengan pertanyaan kapan mati. Benar-benar tidak bisa ia jawab. Begitu si penanya tahu Tika belum memiliki calon, beramai-ramai mereka berusaha mengenalkan lelaki padanya.

Sebagian ia tanggapi. Sebagian lagi hanya ia balas dengan senyum. Sisanya ia abaikan saja. Terkadang, rasa sakit membelit hati bila lelaki yang hendak dikenalkan itu amat sangat di bawah standart. Tika merasa, teramat parakah dirinya hingga hanya pantas bersanding dengan lelaki seperti itu?

Sejak berkenalan dengan Dr. Prambudi Hamonangan Situmorang, Tika begitu bergairah menjalani hari. Seminggu sudah mereka intens komunikasi, telepon atau sms.  Banyak kesesuaian antara mereka. Nada bicara Dokter Pram sangat lembut tapi tegas. Tika bukan perempuan manja, namun ia menilai Dokter Pram bersedia memanjakan dirinya. Dari kalimat yang keluar dari mulut Dokter Pram, tidak jarang terselip firman Tuhan, namun Tika tidak merasa sedang berada di gereja dan Dokter Pram berdiri di mimbar.

Sayangnya, Tika belum memiliki gambaran bagaiman sosok Dokter Pram. Sebenarnya, seperti apapun wajah lelaki itu, Tika bersedia menerima. Yang dia takutkan, justru Dokter Pram yang tidak menerima Tika. Memang Tika tidak jelek. Ia hanya merasa kurang cantik menjadi pendamping seorang dokter. Bertebaran perempuan lain yang lebih pantas untuk lelaki seperti itu.

Dokter Pram bilang tidak memiliki akun sosial media apapun ketika Tika meminta. Agak heran juga Tika dibuatnya. Tetapi, ia maklum. Bisa saja Dokter Pram terlalu sibuk, atau tidak tertarik bersosialisasi di dunia maya.

“Abang pasti menerima Adek bagaimanapun adanya. Semoga Adek pun berpikir seperti itu.” Aku Dokter Pram suatu saat. Membuat Tika merasa sesaat tulang-tulang di kakinya berubah menjadi ongol-ongol.
Kata-kata Dokter Pram seringkali membuat hati Tika seperti dilumuri madu. Kemudian semut-semut berbondong mengerubuti hatinya itu, membuat Tika merasa hatinya dicubit-cubit. Sungguh Tika menyukai sensasi itu. Ia merasa begitu berharga, merasa sangat terhormat.
“Abang sangat ingin bertemu orangtua Adek. Berkenalan, kemudian membicarakan hubungan kita selanjutnya. Sayang sekali, pekerjaan Abang sebagai dokter sangat-sangat merampok waktu Abang. Andai jarak tidak sejauh ini memisah kita.”

Apa tak lemas Tika mendengarnya. Ia ingin berteriak kegirangan. Pengakuan Dokter Pram itu adalah bukti lelaki itu serius dengannya.
“Jangan lelah berdoa ya, Dek. Supaya hubungan kita dimudahkan Tuhan.”
Berdoa semalam suntuk pun Tika bersedia. Sungguh.
***

Dokter Pram menelepon, bilang ia sudah mengurus surat permohonan pindah tugas ke Medan dan sekitarnya. Orangtua Dokter Pram setuju bila anak mereka pindah ke Medan, bukan bersama mereka di Pekanbaru.

“Doakan Dek, supaya SK segera keluar. Jadi kita bisa bertemu dan bersama di Medan.”
Maka dalam doa-doa malamnya Tika memohon.
Beberapa hari kemudian, Dokter Pram bilang. Ia sudah menjual beberapa asetnya di Singkawang. Satu rumah sudah laku, sedangkan satu rumah lagi dalam proses negosiasi. Sepeda motornya telah terjual, sementara mobilnya akan dijual belakangan, karena masih ia pergunakan selama di Singkawang. 

“Abang masih ragu, akan menjual kebun juga atau tidak. Kebun ini sangat menghasilkan. Memang tidak terlalu luas, tapi bisa menghasilkan tidak kurang seratus juta per enam bulannya. Abang berpikir untuk tetap memilikinya. Sesekali kita berdua datang ke Singkawang untuk meninjau para pekerja.”

Tika ingin tahu kebun apa yang dimiliki Dokter Pram. Ia memilih tidak bertanya, takut terkesan sangat bersemangat dengan harta lelaki itu.
Sekitar tiga hari kemudian, Dokter Pram bilang surat permohonan pindah tugasnya dikabulkan. Seluruh harta bendanya telah berganti menjadi rupiah. Termasuk kebunnya. Ia meminta nomor rekening Tika. Katanya, uang itu akan ditransfer ke rekening gadis itu. Terlalu beresiko membawa uang sebanyak itu dari  Singkawang sampai ke Medan. Dokter Pram akan menutup rekeningnya pada sebuah bank lokal di Singkawang.

“Hanya empat milyar ya, Dek. Nanti uang itu kita beli rumah di Medan. Bikin usaha juga. Tentu saja, untuk pesta kita. Nanti Abang kasih tau bila sudah ditransfer ke rekeningmu.”
Tika mendegut ludah. Ia merasa bersyukur. Rencana Tuhan sangat indah baginya. Ia melajang sampai usia 36 tahun. Ketika harapannya nyaris remuk, Tuhan memberinya seorang lelaki yang amat luar biasa.
“Kenapa Abang percaya?”
“Percaya apanya?”
“Abang tak takut uang itu kubawa lari?”

Terdengar bahakan Dokter Pram. “Sejak semula Abang udah percaya kalau Adek akan menjadi istri Abang. Jadi, tak mungkin Adek berbuat begitu.”
Tentu saja tidak, teriak Tika dalam hati.
“Udah Abang transfer ya, Dek. Tapi, karena ini transaksi beda bank, uang itu akan masuk ke rekening Adek dua hari lagi.” Lapor Dokter Pram siangnya.
“Kok...”
“Abang lupa transaksi apa namanya ini. Tadi udah dijelaskan sama pihak bank. Dua hari lagi mohon dicek. Besok Abang terbang ke Jakarta. Kemudian ke Pekanbaru. Empat atau lima hari lagi Abang menemui Adek di Medan.”

Sesekali Tika merasa ini seperti mimpi. Begitu cepatnya ia menemukan lelaki istimewa. Segalanya sangat lancar.
***

“Saking terburu-buru, ada yang Abang lupa,” kata Dokter Pram esoknya. Sebelum ia terbang ke Jakarta.
“Apa?”
“Abang belum bayar jasa notaris yang mengurus semua surat. Juga tip kepada beberapa calo. Sementara uang tunai yang Abang pegang tidak cukup.”
“Terus?”
“Kalau boleh pinjam ...”
“Tentu boleh, Bang. Berapa yang Abang butuhkan?”
“Dua puluh juta saja.”
Sebanyak itu? Tetapi Tika tidak memasalahkan. Lucu sekali bila ia ragu sementara Dokter Pram memercayakan 4 miliar padanya.
“Kalau Adek keberatan, tak apa. Abang bisa pinjam ...”
“Sama sekali tak keberatan, Bang. Ke mana kutransfer?”
“Sebentar Abang tanya sama notarisnya.”
Dokter Pram menutup telepon. Tidak lama ia memberikan nomor rekening sang notaris. “Semua saja transfer ke situ. Abang bisa minta lebihnya sama dia.”
“Iya, Bang.”
“Sebenarnya ...”
“Iya, Bang?”
“Sebenarnya, uang pegangan Abang sangat pas-pasan. Abang takut ...”
“Adek transfer tiga puluh juta, Bang.”
“Terima kasih, Dek. Tak salah Abang memilihmu. Segera Abang ganti.”
“Uang Abang justru lebih banyak di rekeningku.”
“Itu uang kita. Bukan hanya uang Abang.”
***

Sore harinya, Tika baru sadar sms yang ia kirim selepas transfer belum terkirim pada Dokter Pram. Nomornya tidak aktif ketika ia hubungi. Mungkin masih berada di dalam pesawat. Sampai jauh malam, nomor Dokter Pram belum aktif. Sebilah cemas menusuk hati Tika. Semoga Dokter Pram baik-baik saja. 

Gadis kuning langsat ini dibekap cemas sepanjang malam. Ini kali pertama Dokter Pram tidak menghubungi sejak mereka kenalan. Ia memantau tivi sekadar memastikan tidak ada pesawat celaka.

Sampai tiga hari, nomor Dokter Pram tidak aktif. Sebuah kecemasan lain merambat di hati Tika.  Kecemasan itu teramat beralasan, karena sampai hari ini tidak ada uang masuk ke dalam rekeningnya. Melalui Dewi, ia meminta nomor lain yang bisa menghubungkannya dengan Dokter Pram.

Kemudian jelaslah sudah. Ternyata, Dokter Pram hanyalah kenalan dari kenalan keluarga jauh tetangga Dewi yang berada di Kalimantan. Tika tidak bisa menemukan pangkalnya. Sampai ia sendiri tidak yakin jika selama ini lelaki itu berbicara dengannya dari Singkawang.  Hanya dua yang Tika yakini. Lelaki itu bukan Dokter Pram, dan lelaki itu adalah penipu.
Binjai, 16 Februari 2016
***

*Dimuat di Rubrik Rebana, Harian Analisa Medan, 5 Maret 2017.
Cerpen ini saya kirim 21 Februari 2017, dengan judul Perempuan yang Hendak Menikahi Dokter.

I

Tidak ada komentar:

Posting Komentar