Perempuan Hendak
Menikahi Dokter
Dr. Prambudi
Hamonangan Situmorang. 39 tahun. Lajang. Sedang mencari istri.
Terlalu bodoh
bila Tika membuang peluang mengenalnya. Empat hal tentang lelaki itu amatlah
menggoda. Dua kriteria utama yang disebut Dewi bisa ia penuhi. Dokter Pram menginginginkan
perempuan pekerja usia kepala tiga.
Atika Putri
Marpaung kini 36 tahun. Menjabat kepala kasir di sebuah supermarket ternama di Medan.
“Ia bertugas di
Singkawang. Memang hanya dokter puskesmas.” Tambah Dewi.
Tidak masalah
bertugas di daerah mana. Di rumah sakit atau puskesmas. Bagi Tika, ia tetaplah
seorang dokter, profesi yang amat dikagumi masyarakat. Demi lelaki itu, Tika tidak
akan berpikir dua kali meninggalkan pekerjaannya di sini. Ia bisa cari kerja di
Singkawang. Bahkan ia tidak keberatan walau kelak hanya menjadi ibu rumah
tangga. Tentu menyenangkan mengurusi rumah dan anak, berkebun di halaman
belakang dan menghiasi halaman depan dengan aneka bunga.
“Bagaimana
wajahnya?” Sungguh, tanya ini hanya basa-basi. Tidak mengapa bila Dokter Pram
berwajah biasa saja. Tika sendiri tidak terlalu cantik. Menurutnya, bila pun
wajah Dokter Pram di bawah standart, pasti tertutupi oleh profesinya.
“Aku tak kenal.”
“Lho?”
“Tetanggaku
keluarga jauhnya. Dokter itu minta dicarikan istri.”
Setahu Tika,
gadis-gadis Singkawang sangat cantik, kulit mereka langsat. Sangat mengherankan
Dokter Pram tidak menemukan satu yang ia sukai.
“Katanya, ia
menginginkan gadis Batak juga.”
Tika mengangguk
mengerti.
“Itu juga
keinginan orangtuanya. Harus perempuan Batak. Dua abangnya menikah bukan dengan
perempuan Batak.”
“Orangtuanya di
Medan?”
“Nanti kutanya
tetanggaku itu. Jadi, kau mau berkenalan dengannya?”
Tentu saja Tika
mau. Peluang seperti ini belum tentu muncul sekali lagi dalam kehidupannya.
Dokter berusia 39 tahun mencari pasangan berusia kepala tiga? Andai pun dokter
itu mencari pasangan duapuluh tahunan, Tika yakin sangat mudah ia dapatkan.
Sembari menunggu
langkah selanjutnya, Tika mencari-cari di facebook maupun twitter. Ia gagal
mendapatkan nama itu. Hanya ada beberapa yang menyerupai. Gadis berambut lurus
itu mencoret dari daftar setelah membaca profil mereka.
Selang dua hari,
Dewi mengabarkan nomor teleponnya sudah di tangan Dokter Pram. Menurut kerabat
jauh dokter itu, Dokter Pram sangat antusias begitu tahu gadis pemilik nomor
telepon itu bermarga Marpaung. Serupa dengan marga ibunya.
Seperti tebakan
Dewi, malam itu juga Dokter Pram mengirim sms perkenalan pada Tika. Gadis itu
membalas dengan datar, setelah mengabaikan sekitar duapuluh menit. Sebagai
perempuan, Tika wajib sedikit jual mahal. Jangan sampai Dokter Pram mengetahui
betapa harapnya meluap.
Keduanya saling
berbalas sms. Tika menyukai komunikasi pertama mereka ini. Agaknya Dokter Pram
paham betul, tidak perlu menelepon pada perkenalan awal. Bila Dokter Pram
meneleponnya, bukan mustahil mereka akan terjebak dalam pembicaraan seperti
interview demi sebuah pekerjaan.
Tika memekik
kesal setelah pembicaraan mereka selesai. Ia lupa minta akun sosial media
Dokter Pram. Tidak mungkin ia meminta
sekarang sementara sms terakhir lelaki itu berisi: Happy good night. Mimpi yang
indah, ya. Tuhan memberkati.
***
Atika Putri
Marpaung merasa hidupnya jauh berbeda dari seminggu lalu. Bila seminggu lalu ia
menjalani hari dengan rutinitas yang membosankan, kini harinya penuh harapan.
Amat berat melajang dalam usianya sekarang. Pertanyaan kapan menikah silih
berganti dihujamkan padanya. Baginya, pertanyaan itu serupa dengan pertanyaan
kapan mati. Benar-benar tidak bisa ia jawab. Begitu si penanya tahu Tika belum
memiliki calon, beramai-ramai mereka berusaha mengenalkan lelaki padanya.
Sebagian ia
tanggapi. Sebagian lagi hanya ia balas dengan senyum. Sisanya ia abaikan saja.
Terkadang, rasa sakit membelit hati bila lelaki yang hendak dikenalkan itu amat
sangat di bawah standart. Tika merasa, teramat parakah dirinya hingga hanya
pantas bersanding dengan lelaki seperti itu?
Sejak berkenalan
dengan Dr. Prambudi Hamonangan Situmorang, Tika begitu bergairah menjalani
hari. Seminggu sudah mereka intens komunikasi, telepon atau sms. Banyak kesesuaian antara mereka. Nada bicara
Dokter Pram sangat lembut tapi tegas. Tika bukan perempuan manja, namun ia
menilai Dokter Pram bersedia memanjakan dirinya. Dari kalimat yang keluar dari
mulut Dokter Pram, tidak jarang terselip firman Tuhan, namun Tika tidak merasa
sedang berada di gereja dan Dokter Pram berdiri di mimbar.
Sayangnya, Tika
belum memiliki gambaran bagaiman sosok Dokter Pram. Sebenarnya, seperti apapun
wajah lelaki itu, Tika bersedia menerima. Yang dia takutkan, justru Dokter Pram
yang tidak menerima Tika. Memang Tika tidak jelek. Ia hanya merasa kurang
cantik menjadi pendamping seorang dokter. Bertebaran perempuan lain yang lebih
pantas untuk lelaki seperti itu.
Dokter Pram
bilang tidak memiliki akun sosial media apapun ketika Tika meminta. Agak heran
juga Tika dibuatnya. Tetapi, ia maklum. Bisa saja Dokter Pram terlalu sibuk,
atau tidak tertarik bersosialisasi di dunia maya.
“Abang pasti
menerima Adek bagaimanapun adanya. Semoga Adek pun berpikir seperti itu.” Aku
Dokter Pram suatu saat. Membuat Tika merasa sesaat tulang-tulang di kakinya
berubah menjadi ongol-ongol.
Kata-kata Dokter
Pram seringkali membuat hati Tika seperti dilumuri madu. Kemudian semut-semut
berbondong mengerubuti hatinya itu, membuat Tika merasa hatinya dicubit-cubit.
Sungguh Tika menyukai sensasi itu. Ia merasa begitu berharga, merasa sangat
terhormat.
“Abang sangat
ingin bertemu orangtua Adek. Berkenalan, kemudian membicarakan hubungan kita
selanjutnya. Sayang sekali, pekerjaan Abang sebagai dokter sangat-sangat
merampok waktu Abang. Andai jarak tidak sejauh ini memisah kita.”
Apa tak lemas
Tika mendengarnya. Ia ingin berteriak kegirangan. Pengakuan Dokter Pram itu
adalah bukti lelaki itu serius dengannya.
“Jangan lelah
berdoa ya, Dek. Supaya hubungan kita dimudahkan Tuhan.”
Berdoa semalam
suntuk pun Tika bersedia. Sungguh.
***
Dokter Pram
menelepon, bilang ia sudah mengurus surat permohonan pindah tugas ke Medan dan
sekitarnya. Orangtua Dokter Pram setuju bila anak mereka pindah ke Medan, bukan
bersama mereka di Pekanbaru.
“Doakan Dek,
supaya SK segera keluar. Jadi kita bisa bertemu dan bersama di Medan.”
Maka dalam
doa-doa malamnya Tika memohon.
Beberapa hari
kemudian, Dokter Pram bilang. Ia sudah menjual beberapa asetnya di Singkawang.
Satu rumah sudah laku, sedangkan satu rumah lagi dalam proses negosiasi. Sepeda
motornya telah terjual, sementara mobilnya akan dijual belakangan, karena masih
ia pergunakan selama di Singkawang.
“Abang masih
ragu, akan menjual kebun juga atau tidak. Kebun ini sangat menghasilkan. Memang
tidak terlalu luas, tapi bisa menghasilkan tidak kurang seratus juta per enam
bulannya. Abang berpikir untuk tetap memilikinya. Sesekali kita berdua datang
ke Singkawang untuk meninjau para pekerja.”
Tika ingin tahu
kebun apa yang dimiliki Dokter Pram. Ia memilih tidak bertanya, takut terkesan
sangat bersemangat dengan harta lelaki itu.
Sekitar tiga
hari kemudian, Dokter Pram bilang surat permohonan pindah tugasnya dikabulkan.
Seluruh harta bendanya telah berganti menjadi rupiah. Termasuk kebunnya. Ia
meminta nomor rekening Tika. Katanya, uang itu akan ditransfer ke rekening
gadis itu. Terlalu beresiko membawa uang sebanyak itu dari Singkawang sampai ke Medan. Dokter Pram akan
menutup rekeningnya pada sebuah bank lokal di Singkawang.
“Hanya empat
milyar ya, Dek. Nanti uang itu kita beli rumah di Medan. Bikin usaha juga.
Tentu saja, untuk pesta kita. Nanti Abang kasih tau bila sudah ditransfer ke
rekeningmu.”
Tika mendegut
ludah. Ia merasa bersyukur. Rencana Tuhan sangat indah baginya. Ia melajang
sampai usia 36 tahun. Ketika harapannya nyaris remuk, Tuhan memberinya seorang
lelaki yang amat luar biasa.
“Kenapa Abang
percaya?”
“Percaya
apanya?”
“Abang tak takut
uang itu kubawa lari?”
Terdengar
bahakan Dokter Pram. “Sejak semula Abang udah percaya kalau Adek akan menjadi
istri Abang. Jadi, tak mungkin Adek berbuat begitu.”
Tentu saja
tidak, teriak Tika dalam hati.
“Udah Abang
transfer ya, Dek. Tapi, karena ini transaksi beda bank, uang itu akan masuk ke
rekening Adek dua hari lagi.” Lapor Dokter Pram siangnya.
“Kok...”
“Abang lupa
transaksi apa namanya ini. Tadi udah dijelaskan sama pihak bank. Dua hari lagi
mohon dicek. Besok Abang terbang ke Jakarta. Kemudian ke Pekanbaru. Empat atau
lima hari lagi Abang menemui Adek di Medan.”
Sesekali Tika
merasa ini seperti mimpi. Begitu cepatnya ia menemukan lelaki istimewa.
Segalanya sangat lancar.
***
“Saking
terburu-buru, ada yang Abang lupa,” kata Dokter Pram esoknya. Sebelum ia terbang
ke Jakarta.
“Apa?”
“Abang belum
bayar jasa notaris yang mengurus semua surat. Juga tip kepada beberapa calo.
Sementara uang tunai yang Abang pegang tidak cukup.”
“Terus?”
“Kalau boleh
pinjam ...”
“Tentu boleh,
Bang. Berapa yang Abang butuhkan?”
“Dua puluh juta
saja.”
Sebanyak itu?
Tetapi Tika tidak memasalahkan. Lucu sekali bila ia ragu sementara Dokter Pram
memercayakan 4 miliar padanya.
“Kalau Adek
keberatan, tak apa. Abang bisa pinjam ...”
“Sama sekali tak
keberatan, Bang. Ke mana kutransfer?”
“Sebentar Abang
tanya sama notarisnya.”
Dokter Pram
menutup telepon. Tidak lama ia memberikan nomor rekening sang notaris. “Semua
saja transfer ke situ. Abang bisa minta lebihnya sama dia.”
“Iya, Bang.”
“Sebenarnya ...”
“Iya, Bang?”
“Sebenarnya,
uang pegangan Abang sangat pas-pasan. Abang takut ...”
“Adek transfer
tiga puluh juta, Bang.”
“Terima kasih,
Dek. Tak salah Abang memilihmu. Segera Abang ganti.”
“Uang Abang
justru lebih banyak di rekeningku.”
“Itu uang kita.
Bukan hanya uang Abang.”
***
Sore harinya, Tika
baru sadar sms yang ia kirim selepas transfer belum terkirim pada Dokter Pram.
Nomornya tidak aktif ketika ia hubungi. Mungkin masih berada di dalam pesawat.
Sampai jauh malam, nomor Dokter Pram belum aktif. Sebilah cemas menusuk hati
Tika. Semoga Dokter Pram baik-baik saja.
Gadis kuning
langsat ini dibekap cemas sepanjang malam. Ini kali pertama Dokter Pram tidak
menghubungi sejak mereka kenalan. Ia memantau tivi sekadar memastikan tidak ada
pesawat celaka.
Sampai tiga
hari, nomor Dokter Pram tidak aktif. Sebuah kecemasan lain merambat di hati
Tika. Kecemasan itu teramat beralasan,
karena sampai hari ini tidak ada uang masuk ke dalam rekeningnya. Melalui Dewi,
ia meminta nomor lain yang bisa menghubungkannya dengan Dokter Pram.
Kemudian
jelaslah sudah. Ternyata, Dokter Pram hanyalah kenalan dari kenalan keluarga
jauh tetangga Dewi yang berada di Kalimantan. Tika tidak bisa menemukan
pangkalnya. Sampai ia sendiri tidak yakin jika selama ini lelaki itu berbicara
dengannya dari Singkawang. Hanya dua yang
Tika yakini. Lelaki itu bukan Dokter Pram, dan lelaki itu adalah penipu.
Binjai, 16 Februari 2016
***
*Dimuat di Rubrik Rebana, Harian Analisa Medan, 5 Maret 2017.
Cerpen ini saya kirim 21 Februari 2017, dengan judul Perempuan yang Hendak Menikahi Dokter.
I
Tidak ada komentar:
Posting Komentar