Foto oleh: Sutono Suto |
Si Burung Berbulu Emas
Dua pemuda memasuki Hutan Perci. Mereka akan berburu berbagai jenis hewan, seperti ayam hutan, burung, kelinci, harimau, macan, dan lain-lainnya. Hasil buruan akan mereka jual di pasar kota terdekat. Karena burung dan ayam hutan yang mati tidak laku dijual, kedua pemuda itu harus memerangkapnya dengan tali atau keranjang. Sebab itu tidak mudah mendapatkannya. Sedangkan hewan seperti harimau, macan atau serigala akan mereka tembak lalu mengulitinya. Kulit-kulit itulah yang mereka bawa pulang.
Tetapi, beberapa hari ini kedua pemuda itu tidak
berhasil mendapat apa pun. Binatang itu tidak mungkin punah karena habis mereka
tangkap. Selama ini kedua pemuda itu sangat memilih buruan. Burung atau ayam
hutan yang masih kecil selalu mereka lepas. Demikian juga dengan
binatang-binatang buas. Binatang yang
mereka tangkap hanya jantan dengan ukuran besar.
Kedua pemuda itu bernama Joko dan Kusno. Joko dan Kusno
sudah berteman sejak kecil. Joko tinggal bersama neneknya yang sudah tua,
sementara itu Kusno tinggal bersama ibu dan kedua adiknya.
Kedua pemuda itu melangkah semakin jauh ke dalam
hutan. Mereka melangkah pelan supaya tidak menimbulkan suara. Ada beberapa
burung berbulu indah bermain di cabang pohon. Joko maupun Kusno meninggalkan
tali jeratan. Semoga saat pulang nanti, ada burung terperangkap jeratan. Atau ayam hutan dan kelinci juga
boleh.
Joko dan Kusno melangkah terus, melewati pohon-pohon
yang semakin rapat dan gelap. Hanya sedikit sinar matahari yang berhasil
menembus dahan-dahan pepohonan.
“Kusno, kita balik saja. Sudah terlalu jauh kita
berjalan.” Joko mengingatkan.
“Kau takut?” Kusno tersenyum mengejek.
“Bukannya aku takut. Tapi ...”
“Kalau tidak takut, ayo kita jalan lagi.”
Terpaksa Joko mengikuti Kusno. Ia meninggalkan tali
jeratan dan segenggam jagung di sekitar situ. Selain untuk menjerat, tali itu
sebagai penunjuk jalan saat pulang nanti.
Kedua pemuda itu terus melangkah. Tetapi mereka
tidak melihat binatang apa pun. Akhirnya Kusno bersedia pulang saat Joko
mendesaknya.
Sepanjang jalan, kedua pemuda itu mengambil tali
jerat yang kosong.
“Uh, ke mana semua perginya binatang-binatang di hutan
ini?” Kusno mengeluh.
Baru beberapa langkah, tidak jauh di depan,
terdengar suara burung menangis. Joko dan Kusno berlari menghampiri. Ternyata, kaki
seekor burung terjerat tali milik Joko. Joko dan Kusno mengagumi keindahan bulu
burung berwarna biru bercampur warna emas itu. Mereka belum pernah melihat
burung seindah ini.
Burung itu ketakutan melihat keduanya. Tangisnya
semakin kencang.
“Tolong lepaskan aku, Tuan!”
“Mana mungkin kami melepaskanmu, Burung Cantik!
Bulumu sangat indah. Hargamu pasti sangat mahal.” Kusno tertawa panjang.
Mendengar itu, burung semakin menangis. Air mata
bercucuran dari kedua matanya. Joko tidak tega melihatnya.
Kusno mengikat kedua sayap burung supaya tidak bisa
terbang.
“Kasihani aku, Tuan. Biarkan aku pulang ke
sarangku.” Burung memohon lagi.
“Kau juga harus kasihan pada kami. Keluarga kami
bisa kelaparan. Kami sudah tidak memiliki uang. Kalau kau kami lepaskan, tidak
ada yang bisa kami jual besok.” Kata Kusno.
“Ketiga anakku masih kecil, Tuan. Bagaimana nasib
mereka kalau aku Tuan bawa pergi?”
“Itu bukan urusan kami.”
Dicomot dari situs Suara Merdeka |
Burung terisak-isak. Ia teringat ketiga anaknya yang
masih sangat kecil. Ia tidak mau meninggalkan anak-anaknya terlalu lama, itulah
sebabnya tadi ia tidak berhati-hati. Seharusnya ia curiga saat melihat banyak
biji jagung bertebaran di tempat itu.
Joko sangat kasihan melihat burung itu. Ia mengambil
burung dari tangan Kusno. Burung itu akan ia lepaskan.
“Jangan lepas, Joko!” Kusno melarang.
“Burung ini berada di tali jeratku. Jadi ia
milikku.”
“Tapi kita selalu berbagi hasil buruan.”
“Tapi aku lebih berhak memutuskan.” Joko melepaskan
ikatan pada kedua sayap burung.
“Kau akan menyesal. Burung ini bisa kita jual dengan
harga sangat mahal.”
Bukannya terbang, burung malah hinggap di tangan
Joko. Burung menatap Joko. “Terima
kasih. Tuan sangat baik sekali. Sebagai gantinya, Tuan ambillah masing-masing sehelai
buluku yang berwarna emas.”
“Tidak usah, Burung. Pergilah!”
“Ambil saja, Tuan.”
Joko mencabut
dua helai bulu berwarna emas dari bagian ekor burung. Setelah itu,
burung terbang ke dahan pohon. Dari sana ia menatap Joko dan Kusno.
“Simpanlah buluku itu, Tuan! Suatu hari pasti
berguna.” Katanya sebelum ia terbang jauh.
Joko menyimpan bulu itu di saku bajunya.
“Kita kehilangan uang sangat banyak karena rasa sok
kasihanmu.” Kata Kusno ketus. Dia membuang bulu burung itu.
Tanpa dilihat Kusno, Joko mengambil bulu itu. Sesampai
di rumah, ia menyimpan bulu di lemari dapur. Lemari itu merupakan penyimpanan
beras dan bahan-bahan makanan lainnya.
Hari berganti hari. Setiap berburu, Joko dan Kusno
tidak mendapat apa pun. Sampai kemudian persediaan bahan makanan di rumah
habis. Hingga pagi ini, Joko mendapati dua batang emas berbentuk bulu burung di
dalam lemari.
Joko dan Kusno berangkat ke kota untuk menjual emas
itu. Hasil penjualan mereka bagi dua. Joko dan Kusno membeli bahan makanan dan
membawa pulang uang sisanya. Sejak saat itu, Joko dan Kusno memutuskan menjadi
petani dan membiarkan binatang-binatang hidup bebas di dalam hutan.
***
Tumben cernaknya dipos semua! Semoga honornya lancar jaya!:D Wkwkwk...
BalasHapusSampai sekarang belum masup, Mbak. Dulu juga pernah dimuat, sepertinya honornya juga gak masup. :(
Hapuswaaah keren. cerita yg mengharu biru :)
BalasHapusTah hapa-hapa yang mengharu biru.
Hapus