Duka dari Danau Toba
Senin 18 Juni 2018 sekitar pukul 17.00 WIB, Kapal Motor (KM) Sinar Bangun
yang berpenumpang entah berapa, bergerak dari Pelabuhan Simanindo, Pulau
Samosir hendak menuju Pelabuhan Tigaras, di Kabupaten Simalungun. Duka pun menggigit, saat kapal itu tak sampai-sampai
di dermaga Tigaras dan malah menumpahkan isinya di sekitar perairan Pulau Tao,
Simanindo. Untuk sementara, cuaca buruk,
angin kencang dan kelebihan beban disebut
sebagai penyebab utama karamnya KM Sinar Bangun. Memang, sekitar bulan Mei
hingga Juli, angin di Danau Toba selalu lebih kencang, mengakibatkan ombak
tidak sebersahabat pada bulan lainnya.
Namun, jangan lupakan juga, Juni dan Juli adalah bulan di mana wisatawan
membanjiri Danau Toba. Karena saat itu merupakan masa libur sekolah. Tercatat,
ada tiga gelombang arus wisata di Danau Toba. Pertama, libur Natal dan Tahun
Baru, kedua libur sekolah di bulan Juni dan Juli, dan ketiga adalah libur
Lebaran. Kebetulan tahun ini, libur tahun ajaran baru sekolah bersamaan dengan
libur Lebaran. Bayangkan, betapa banyaknya wisatawan berkunjung ke Danau Toba.
Benar Danau Toba dikelilingi tujuh kabupaten yang ada di Sumatera Utara,
namun belum lengkap rasanya berkunjung ke Danau Toba bila tidak menyeberang ke
Pulau Samosir. Bila hendak ke Samosir, tersedia empat gerbang utama menujunya.
Yang menjadi favorite wisatawan pastilah melalui Parapat, menuju Tomok atau
Tuktuk. Kemudian belakangan ini jalur Tigaras-Simanindo menjadi pilihan. Yang tidak suka melalui jalur danau, tersedia
jalur darat dari Tele menuju Pangururan. Namun, ini bukanlah jalur pilihan
wisatawan. Sebab, pusat wisata di Samosir adalah Tomok dan Tuktuk, sementara
wisatawan yang datang dari Pangururan
harus mengelilingi setengah Pulau Samosir untuk sampai di Tomok maupun Tuktuk.
Banjir Pengunjung, Penumpang Kapal Membludak.
Saya termasuk sering menggunakan kapal motor dari Parapat menuju Tomok atau Tuktuk maupun sebaliknya, baik saat
musim liburan maupun hari biasa. Bila hari biasa, sebab kekurangan penumpang kapal
berangkat sampai melewati jadwal yang tertera dengan membawa penumpang
seadanya. Saat musim liburan, kapal datang dan pergi tanpa jadwal. Selain
dipenuhi penumpang, kapal-kapal itu juga mengangkut sepeda motor milik
penumpang.
Perjalanan Parapat-Tomok selalu lebih menyeramkan daripada perjalanan
Parapat-Tuktuk. Selain karena jumlah pengunjung ke Tomok memang lebih banyak, pastilah
juga karena kapal Parapat-Tuktuk tidak mengangkut sepeda motor. Sayangnya,
terakhir kali saya berkunjung ke Tuktuk Januari 2018, kapal dengan rute
Parapat-Tuktuk pun sudah mengangkut sepeda motor. Memang jumlahnya tidak
sebanyak kapal menuju Tomok. Bila tidak segera dihentikan, penumpang bersepeda
motor menuju Tuktuk pasti akan berkembang, sebab sejatinya penumpang bersepeda
motor dalam kapal menuju Tomok kebanyakan hendak berlibur ke Tuktuk.
Dua atau tiga tahun lalu merupakan kali terakhir saya menaiki kapal
Parapat-Tomok saat musim liburan. Penyebabnya adalah rasa takut dalam
perjalanan yang menurut saya sangat honor. Jadi begini, ketika itu sekitar jam
sepuluh pagi kapal yang saya naiki dari Tomok sarat dengan penumpang dan sepeda
motor. Karena seluruh tempat duduk penuh, sebagian penumpang duduk di lantai
dasar bahkan berdiri di luar. Saat itu, saya beruntung masih mendapat tempat
duduk di lantai dasar.
Saat itu langit cerah. Pun air danau tenang. Namun, karena penumpang yang
sudah melebihi kapasitas, gelombang air akibat lintasan kapal membuat air
selalu masuk ke dalam, membasahi lantai dasar.
Mungkin, karena saya tidak bisa berenang, kejadian itu sudah menyeramkan
bagi saya. Saya mematung sembari memeluk ransel. Leher saya terus menoleh ke
luar, berharap perjalanan berakhir. Ternyata, saya bukan satu-satunya penumpang
yang dicekam takut, semua penumpang di lantai dasar itu mematung. Tidak ada
suara-suara yang biasanya riuh. Bayangkan bila saat itu cuaca buruk dan ombak
besar, air akan lebih leluasa masuk ke dalam kapal.
Pengalaman itu membuat saya berpikir, bila kapal motor di perairan Danau
Toba tetap berlayar dengan membawa penumpang jauh di atas batas maksimal, suatu
saat akan ada kapal motor penumpang karam di Danau Toba. Dinas perhubungan
harus bertindak, standby di pelabuhan untuk memastikan setiap kapal tidak over
kapasitas.
Beberapa tahun lalu, tersedia jaket dan ban pelampung saat menaiki kapal di
perairan Danau Toba. Benda-benda itu diikat di langit-langit kapal, di atas
kursi penumpang, dengan jumlah cukup banyak. Kelamaan, jumlah benda itu semakin
berkurang dengan kondisi tidak terawat, beberapa ada bekas sundutan rokok.
Hingga kemudian jaket dan ban pelampung tidak saya temukan lagi terikat di
langit-langit kapal.
Berkurang, tidak terawat kemudian habis sama sekali jaket dan ban pelampung
itu, saya tebak adalah berkat ketidakpedulian pengusaha kapal, penumpang dan
dinas perhubungan. Pengusaha tidak menjaga asetnya, penumpang merusak (sundutan
rokok) dan dinas perhubungan tidak pernah sidak memastikan ketersediaan
benda-benda keselamatan di dalam kapal.
Penutup
Korban KM Sinar Bangun adalah tumbal
ketidakpedulian kita selama ini. Pemerintah tidak peduli bagaimana sepak
terjang pengusaha kapal di lapangan. Memuat penumpang sebanyak-banyaknya, tidak
menyediakan perlengkapan keselamatan adalah ketidakpedulian pengusaha kapal dan
sebagai penumpang kita pun perlu memerhatikan keselamatan diri. Kita bisa
menolak naik dalam kapal bila sudah berjejalan penumpang. Tentu saja, sesama
penumpang saling bekerja sama dengan menolak kapal yang sudah penuh, karena
bila hanya satu dua penumpang yang menolak, pengusaha kapal tidak akan peduli.
Kejadian itu juga adalah tamparan keras bagi industri pariwisata Samosir. Bersebab
merasa keselamatannya berada di ujung tanduk, jangan sampai wisatawan mencoret menyeberang
Danau Toba dari daftar kunjungan mereka. Untuk itu, menurut saya, pemerintahan
Kabupaten Samosir harus bekerja jauh lebih keras demi keamanan dan kenyamanan
wisatawan saat menyeberangi danau. Jangan sampai Samosir hanya bisa menggigit
jari sendiri sebab tidak kebagian kue tiga kali setahun tersebut.
***
*Dimuat di Rubrik Opini, Harian Analisa, 29 Juni 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar