Sabtu, 07 Juli 2018

Duka dari Danau Toba*





Duka dari Danau Toba

Senin 18 Juni 2018 sekitar pukul 17.00 WIB, Kapal Motor (KM) Sinar Bangun yang berpenumpang entah berapa, bergerak dari Pelabuhan Simanindo, Pulau Samosir hendak menuju Pelabuhan Tigaras, di Kabupaten Simalungun.  Duka pun menggigit, saat kapal itu tak sampai-sampai di dermaga Tigaras dan malah menumpahkan isinya di sekitar perairan Pulau Tao, Simanindo.  Untuk sementara, cuaca buruk, angin kencang  dan kelebihan beban disebut sebagai penyebab utama karamnya KM Sinar Bangun. Memang, sekitar bulan Mei hingga Juli, angin di Danau Toba selalu lebih kencang, mengakibatkan ombak tidak sebersahabat pada bulan lainnya.
Namun, jangan lupakan juga, Juni dan Juli adalah bulan di mana wisatawan membanjiri Danau Toba. Karena saat itu merupakan masa libur sekolah. Tercatat, ada tiga gelombang arus wisata di Danau Toba. Pertama, libur Natal dan Tahun Baru, kedua libur sekolah di bulan Juni dan Juli, dan ketiga adalah libur Lebaran. Kebetulan tahun ini, libur tahun ajaran baru sekolah bersamaan dengan libur Lebaran. Bayangkan, betapa banyaknya wisatawan berkunjung ke Danau Toba.
Benar Danau Toba dikelilingi tujuh kabupaten yang ada di Sumatera Utara, namun belum lengkap rasanya berkunjung ke Danau Toba bila tidak menyeberang ke Pulau Samosir. Bila hendak ke Samosir, tersedia empat gerbang utama menujunya. Yang menjadi favorite wisatawan pastilah melalui Parapat, menuju Tomok atau Tuktuk. Kemudian belakangan ini jalur Tigaras-Simanindo menjadi pilihan.  Yang tidak suka melalui jalur danau, tersedia jalur darat dari Tele menuju Pangururan. Namun, ini bukanlah jalur pilihan wisatawan. Sebab, pusat wisata di Samosir adalah Tomok dan Tuktuk, sementara wisatawan  yang datang dari Pangururan harus mengelilingi setengah Pulau Samosir untuk sampai di Tomok maupun Tuktuk.

Banjir Pengunjung, Penumpang Kapal Membludak.
Saya termasuk sering menggunakan kapal motor dari Parapat menuju Tomok  atau Tuktuk maupun sebaliknya, baik saat musim liburan maupun hari biasa. Bila hari biasa, sebab kekurangan penumpang kapal berangkat sampai melewati jadwal yang tertera dengan membawa penumpang seadanya. Saat musim liburan, kapal datang dan pergi tanpa jadwal. Selain dipenuhi penumpang, kapal-kapal itu juga mengangkut sepeda motor milik penumpang.
Perjalanan Parapat-Tomok selalu lebih menyeramkan daripada perjalanan Parapat-Tuktuk. Selain karena jumlah pengunjung ke Tomok memang lebih banyak, pastilah juga karena kapal Parapat-Tuktuk tidak mengangkut sepeda motor. Sayangnya, terakhir kali saya berkunjung ke Tuktuk Januari 2018, kapal dengan rute Parapat-Tuktuk pun sudah mengangkut sepeda motor. Memang jumlahnya tidak sebanyak kapal menuju Tomok. Bila tidak segera dihentikan, penumpang bersepeda motor menuju Tuktuk pasti akan berkembang, sebab sejatinya penumpang bersepeda motor dalam kapal menuju Tomok kebanyakan hendak berlibur ke Tuktuk.
Dua atau tiga tahun lalu merupakan kali terakhir saya menaiki kapal Parapat-Tomok saat musim liburan. Penyebabnya adalah rasa takut dalam perjalanan yang menurut saya sangat honor. Jadi begini, ketika itu sekitar jam sepuluh pagi kapal yang saya naiki dari Tomok sarat dengan penumpang dan sepeda motor. Karena seluruh tempat duduk penuh, sebagian penumpang duduk di lantai dasar bahkan berdiri di luar. Saat itu, saya beruntung masih mendapat tempat duduk di lantai dasar.
Saat itu langit cerah. Pun air danau tenang. Namun, karena penumpang yang sudah melebihi kapasitas, gelombang air akibat lintasan kapal membuat air selalu masuk ke dalam, membasahi lantai dasar.
Mungkin, karena saya tidak bisa berenang, kejadian itu sudah menyeramkan bagi saya. Saya mematung sembari memeluk ransel. Leher saya terus menoleh ke luar, berharap perjalanan berakhir. Ternyata, saya bukan satu-satunya penumpang yang dicekam takut, semua penumpang di lantai dasar itu mematung. Tidak ada suara-suara yang biasanya riuh. Bayangkan bila saat itu cuaca buruk dan ombak besar, air akan lebih leluasa masuk ke dalam kapal.
Pengalaman itu membuat saya berpikir, bila kapal motor di perairan Danau Toba tetap berlayar dengan membawa penumpang jauh di atas batas maksimal, suatu saat akan ada kapal motor penumpang karam di Danau Toba. Dinas perhubungan harus bertindak, standby di pelabuhan untuk memastikan setiap kapal tidak over kapasitas.

Beberapa tahun lalu, tersedia jaket dan ban pelampung saat menaiki kapal di perairan Danau Toba. Benda-benda itu diikat di langit-langit kapal, di atas kursi penumpang, dengan jumlah cukup banyak. Kelamaan, jumlah benda itu semakin berkurang dengan kondisi tidak terawat, beberapa ada bekas sundutan rokok. Hingga kemudian jaket dan ban pelampung tidak saya temukan lagi terikat di langit-langit kapal.
Berkurang, tidak terawat kemudian habis sama sekali jaket dan ban pelampung itu, saya tebak adalah berkat ketidakpedulian pengusaha kapal, penumpang dan dinas perhubungan. Pengusaha tidak menjaga asetnya, penumpang merusak (sundutan rokok) dan dinas perhubungan tidak pernah sidak memastikan ketersediaan benda-benda keselamatan di dalam kapal.

Penutup
Korban  KM Sinar Bangun adalah tumbal ketidakpedulian kita selama ini. Pemerintah tidak peduli bagaimana sepak terjang pengusaha kapal di lapangan. Memuat penumpang sebanyak-banyaknya, tidak menyediakan perlengkapan keselamatan adalah ketidakpedulian pengusaha kapal dan sebagai penumpang kita pun perlu memerhatikan keselamatan diri. Kita bisa menolak naik dalam kapal bila sudah berjejalan penumpang. Tentu saja, sesama penumpang saling bekerja sama dengan menolak kapal yang sudah penuh, karena bila hanya satu dua penumpang yang menolak, pengusaha kapal tidak akan peduli.
Kejadian itu juga adalah tamparan keras bagi industri pariwisata Samosir. Bersebab merasa keselamatannya berada di ujung tanduk, jangan sampai wisatawan mencoret menyeberang Danau Toba dari daftar kunjungan mereka. Untuk itu, menurut saya, pemerintahan Kabupaten Samosir harus bekerja jauh lebih keras demi keamanan dan kenyamanan wisatawan saat menyeberangi danau. Jangan sampai Samosir hanya bisa menggigit jari sendiri sebab tidak kebagian kue tiga kali setahun tersebut.
***


*Dimuat di Rubrik Opini, Harian Analisa, 29 Juni 2018


Tidak ada komentar:

Posting Komentar