Minggu, 30 Juni 2019

Malas Bawa Payung



Malas Bawa Payung


Sindy menghabiskan sarapannya dengan buru-buru. Hari ini ia terlambat bangun karena keasyikan menonton teve malam tadi. Dengan mulut penuh air putih, Sindy pamit pada ibu.
“Jangan lupa bawa payung.” Ibu mengingatkan. Sekarang memang musim hujan.
“Malas ah, Bu. Tasku udah berat. Nggak muat lagi.”
“Bawa yang kecil saja.”
“Besok aja, Bu.”
Sebelum Ibu bicara lagi, Sindy berlari ke halaman depan. Di depan rumah, Kanaria sudah menunggunya. Kedua perempuan anak kelas empat itu melangkah riang menuju sekolah. Letak sekolah mereka tidak sampai satu kilometer jauhnya, jadi bisa ditempuh dengan berjalan kaki.
“PR udah kamu kerjakan?” Kanaria bertanya.
“Kita ada PR?” tanya Sindy terkejut.
“PR matematika. Sepuluh soal. Cuma enam yang bisa kukerjakan.”
Sindy menggaruk rambut lurusnya, ia benar-benar tidak ingat ada tugas matematika. Untunglah pelajaran matematika jam terakhir, jadi ia bisa mengerjakannya pada saat istirahat nanti. Ia menolak di saat Kanaria berbaik hati memberinya sontekan.
Jadilah pada jam istirahat Sindy mengerjakan tugas matematika di dalam kelas. Padahal ia ingin jajan di kantin. Perutnya lapar karena tadi pagi sarapan hanya sedikit. Sepanjang pelajaran matematika, Sindy kebanyakan meringis menahan lapar. Ia tidak bisa konsentrasi dengan penjelasan Pak Sanjaya di depan kelas.
Sindy bersorak dalam hati mendengar bel berbunyi panjang. Ia ingin segera pulang, atau setidaknya jajan di kantin. Ia benar-benar sangat kelaparan. Sayangnya, begitu berada di luar kelas, hujan turun sangat deras. Sedari tadi langit memang kelihatan hitam.
Sindy dan Kanaria berdiri menunggu di depan kelas. Begitu juga anak-anak lainnya. Bagi yang membawa payung, mereka melangkah pulang dengan tergesa-gesa.
“Andai saja payungku tidak rusak.” Kata Kanaria pelan.
Sindy menoleh pada Kanaria sembari menyesali dirinya kenapa tadi tidak mematuhi ucapan ibu untuk membawa payung. Ia mengajak Kanaria ke kantin karena perutnya semakin sakit. Ternyata, kantin sudah tutup.
“Aku sangat lapar.” Sindy mengelus perutnya.
“Tapi tak ada yang bisa kamu makan di sini. Kita harus menunggu sampai hujan berhenti.”
Dalam hati Sindy berpikir, ia tidak sanggup menunggu sampai hujan berhenti. Setengah jam kemudian, hujan malah semakin deras disertai petir dan angin kencang. Sindy memutuskan menerobos hujan karena tidak tahan lagi. Sementara itu Kanaria memilih menunggu sampai hujan reda.
Sesampai di rumah, tubuh Sindy menggigil karena kedingingan dan kelaparan. Ibu menyuruhnya mengganti baju kemudian makan. Mulut Sindy tertutup ketika Ibu mengomelinya tidak mau membawa payung tadi pagi.
“Ibu juga yang akan repot kalau kau sakit. Kenapa tidak menunggu hujan reda?”
“Aku kelaparan, Bu.”
“Ibu kan, sudah kasih uang jajan.”
Ibu bisa semakin mengomel kalau Sindy bilang tidak sempat jajan di kantin karena ia mengerjakan tugas matematika saat jam istirahat tadi. Salah Sindy karena lupa ada tugas yang harus dikumpul tadi.
Setelah makan, Sindy langsung tidur. Sorenya ketika terbangun, ia merasa kepalanya sakit. Tubuhnya pun demam. Ia hampir terjatuh saat mencoba berdiri. Ia kembali berbaring. Pasti aku demam, pikirnya dalam hati.
Benar saja, tubuhnya semakin panas ketika ibu memasuki kamarnya. Ibu meraba keningnya yang sangat panas itu.
“Nah, kau demam sekarang. Pasti gara-gara kena hujan sepulang sekolah tadi,” Ibu sangat khawatir.
Malam itu, demam Sindy semakin tinggi. Ibu memaksanya makan kemudian memberinya obat penurun demam. Ibu menemani Sindy di kamar, sampai ibu terkantuk-kantuk.
Sindy menatap ibu, dalam hati ia sangat menyesal. Gara-gara tidak mau sedikit repot, ia jadi demam dan membuat ibunya khawatir.
***




 Dimuat di Rubrik Ceria, Harian Padang Ekspres, 30 Juni 2019




                                                                                       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar