Jumat, 19 Juli 2019

Nai Juang Tahun Baru di Medan






Nai Juang Tahun Baru di Medan


Tiga hari menjelang tahun baru, Nai Juang belum berangkat ke Medan. Jika diberi pilihan, hatinya bulat menghabiskan tahun baru di rumahnya. Tujuh puluh lima tahun usianya, selalu ia memasuki tahun baru di Pangururan.
Orang lain bahkan anak-anaknya selalu bilang, malam tahun baru di Medan sangat semarak. Tidak pernah Nai Juang tergoda berada di dalam keramaian itu. Ia cukup senang menghabiskan malam tahun baru dengan beribadah di gereja. Selepas ibadah  pada pagi harinya, para tetangga berdatangan ke rumah untuk bersalaman sembari mengucapkan selamat tahun baru. Tamu-tamu itu dengan senang hati menikmati hidangan tahun baru sederhana yang dihidangkan Nai Juang.
Memang, zaman terus berjalan. Tradisi hidangan kombang loyang terlebih sasagu  berganti menjadi nastar dan kue-kue berbahan keju. Itu tidak mengubah perasaan senang Nai Juang bertahun baru di Pangururan. Terlebih itu, bila ia berangkat ke Medan, suaminya akan kesepian di Pangururan. Tidak ada yang  meletakkan lilin di atas kuburnya.
Empat dari enam anak Nai Juang sekarang berada di Medan. Dua yang lainnya di Batam dan Depok. Marjuang, anak tertuanya yang paling ribut memintanya datang ke Medan. Katanya, mereka tidak sempat pulang kampung tahun ini karena pekerjaannya sangat padat. Sementara tiga yang lainnya adalah anak perempuan. Setiap tahun baru, mereka pulang ke kampung suami masing-masing.
Nai Juang sudah bilang pada Juang, tak mengapa dia sendirian di Pangururan pada tahun baru ini. Ada saudara jauh dan tetangga  tempatnya berbagi waktu hingga tidak merasa kesepian. Juang sangat memohon supaya Nai Juang tidak membantah.
“Kami sebenarnya sangat ingin pulang, tapi benar-benar tak bisa. Omak lihat sendiri kami selalu pulang setiap tahun. Kali ini, mengalahlah, Mak. Tak mungkin Omak sendirian menghabiskan tahun baru di Pangururan. Apa pula kata tetangga nanti.”
Sehari menjelang tahun baru, berangkatlah Nai Juang ke Medan. Penumpang terbilang tidak banyak. Sebab pada saat itu orang-orang dari Medan yang pulang ke Pangururan. Sebelum naik ke dalam Sampri, Hotman sudah menelepon Juang di Medan. Keluarga jauh Juang itu mengabarkan Nai Juang berangkat jam sepuluh pagi. Jadi sekitar jam empat ia telah tiba di Medan.
Juang berjanji akan menjemput Nai Juang di stasiun Sampri. Tenanglah hati Nai Juang dibuatnya. Terus terang ia tidak paham dengan Medan. Ditambah pula ia tidak mampu baca tulis, dan bahasa Indonesia pun patah-patah.
Nyatanya, sampai jam enam Nai Juang masih duduk gelisah di stasiun Sampri. Ia menduga Juang tidak berhasil menemukannya di antara taburan manusia yang cemas menunggu akankah masih ada Sampri membawa mereka pulang ke kampung halaman.
Di antara cemas yang semakin menggigit hati, perhatian Nai Juang tumpah pada seorang perempuan setara usianya. Betapa beruntung dirinya, ucap Nai Juang dalam hati. Sedari tadi ia perhatikan, seorang perempuan muda sangat perhatian pada perempuan setara usianya itu.  Perempuan muda itu memberinya minum, sesekali membenahi selendang yang melilit leher perempuan tua itu.
Nai Juang teringat keenam anaknya. Ia membayangkan diperlakukan seperti perempuan itu. Ia mengira-ngira, siapa kiranya pernah memperlakukannya serupa itu. Nai Juang gagal mengingat. Namun ia menghibur diri, anak-anaknya pasti pernah memperlakukannya serupa itu. Hanya saja ia lupa sebab usianya semakin lapuk. Mengakibatkan memorinya terkikis perlahan.
Sampai jam tujuh, Nai Juang bertahan di tempat duduknya. Sebagian penumpang telah berangkat, sisanya masih berharap akan berangkat. Tidak sedikit yang memutuskan pulang ke rumah. Berharap besok bisa pulang ke kampung masing-masing.
Perempuan berambut perak itu tidak bisa berpura-pura tenang sekarang. Sudah terlalu lama ia menunggu. Ia ingin meminta seseorang menghubungi  Juang karena mungkin Juang lupa. Sialnya, entah di mana kertas berisi nomor telepon Juang ia selipkan. Tadi ia menyodorkan secarik kertas pada seseorang, tidak taunya kertas itu malah berisi daftar hutangnya.
***

Nai Juang menatap kepergian angkutan terakhir sembari memindahkan suntil ke sudut kanan mulutnya. Andai saja angkutan itu menyisakan kursi untuknya, tanpa pikir panjang ia sudah berada di dalamnya. Lebih baik ia pulang ke Pangururan ketimbang cemas menunggu seperti ini. Calon penumpang yang gagal berangkat satu-satu beranjak dengan tampang sangat kecewa. Nai Juang semakin digigit cemas. Mengapa Juang tak kunjung tiba? Semoga ia sedang sibuk atau lupa, bukan terjadi sesuatu di perjalanan. Harap Nai Juang dalam hati.
Andai saja ia memutuskan menghabiskan tahun baru di Pangururan, sekarang tentu ia berada di gereja mengikuti ibadah bersama orang-orang yang ia kenal. Tidak seperti ini, duduk cemas di antara orang asing.
“Belum datang juga yang menjemput Namboru?” Salah satu pekerja bertanya.
Nai Juang tersenyum.
“Di mana alamat anak Namboru itu? Biar kuantar. Udah malam kali ini.”
Nai Juang beberapakali ke Medan. Ia tidak pernah tau di mana alamat rumah Juang dan anak perempuannya yang lain. Yang ia tahu, rumah Juang lebih dekat dari tempatnya berada sekarang. Rumah Juang jauh dari rumah Roma. Sementara rumah Roma tidak jauh dari rumah Lasmauli. Hanya itu yang ia tahu.
“Tega kali anak Namboru tak datang menjemput sampai sekarang.”
“Kurasa dia sibuk.”
“Anak-anaknya?”
“Masih remaja.”
“Berarti udah bisanya menjemput Namboru.”
Nai Juang memindahkan suntil dari kiri ke kanan.
“Coba Namboru cari sekali lagi di dalam tas, barangkali terselip di situ nomor telepon anak Namboru itu. Biar kutelepon.”
Nai Juang memeriksa tasnya lagi. Tangan kurus keriputnya menelusup hingga ke ujung. Yang ia temukan hanya remah-remah tembakau serta daun sirih kering.
“Tak ada. Kurasa memang tertinggal di rumah. Atau terjatuh tadi.”
“Coba cari lagi. Mungkin di kantong belakang.”
Nai Juang membuka kantong belakang tas tangannya. Harapannya meletup ketika tangannya menyentuh secarik kertas. Ia mengangsurkan kertas itu.
“Namanya Bapak Ando?”
“Iya.”
“Ini nomornya. Biar kutelepon.”
Ketika laki-laki itu menelepon, Nai Juang memerhatikan sembari menggosok-gosok gigi dengan suntil. Tidak lama, laki-laki itu menutup telepon.
“Apa anakku sehat-sehat saja?”
“Dia tidak bilang sehat atau tidak. Tapi katanya, ia sudah memesan anaknya untuk menjemput Namboru sore tadi. Sekarang, ia sedang berada di Berastagi beserta istri dan rekan-rekan kantornya. Pergi mendadak katanya. Namboru tunggu saja. Ia akan menelepon anaknya. Biar Namboru dijemput.”
Kerutan di kening Nai Juang berlipat. Untuk apa Juang memintanya menghabiskan tahun baru di Medan bila ia sendiri tidak ada di rumah.
Stasiun Sampri kian lengang. Laki-laki itu menemani Nai Juang sampai jemputannya datang. Sekadar melipat waktu, Nai Juang bertanya mengenai laki-laki itu. Laki-laki itu melepas kesendiriannya empat bulan lalu. Bintang-bintang berkerlip pada hitam matanya menceritakan istri dan keluarganya. Pengakuannya, ia sebatang kara. Sekarang, ia tidak hanya memiliki seorang istri, namun juga sepasang orangtua.
Nai Juang tersenyum, seperti ikut merasakan kebahagiaan laki-laki itu.
***


Tiga kereta berhenti di tepi jalan. Seorang pengendara turun sementara dua lainnya memainkan gas. Pengendara itu Ando, cucu tertuanya. Sebenarnya Nai Juang sekarang adalah Opung Ando. Tetapi kebanyakan orang tetap menyebutnya Nai Juang.
“Bisa kan, tadi Opung datang sendiri ke rumah.” ketus Ando tanpa menyalam tangan Nai Juang. “Gak perlu merepotkan aku seperti ini.”
Nai Juang termangu. Hasratnya memeluk tubuh Ando ia sembunyikan pada sudut terdalam. Hampir dua tahun mereka tidak bertemu, Ando sudah besar. Menatap remaja laki-laki itu, Nai Juang seperti terlempar mundur puluhan tahun. Ia seperti berhadapan dengan putra sulungnya, Marjuang.
Sepanjang perjalanan, Nai Juang tidak paham seperti apa perasaannya. Ia tidak berani meminta Ando mengurangi kecepatan kereta. Ia sungkan melingkarkan tangan tuanya di pinggang cucunya. Padahal ia cemas, takut terjatuh dari kereta. Sementara itu, barang-barang Nai Juang berada di kereta kedua teman Ando. Mereka mengikuti kereta Ando dari belakang. Jalanan sangat sesak berbagai kendaraan. Bunyi terompet, klakson kendaraan, raungan mesin dan pekik makian orang-orang membuat Nai Juang gentar. Tidak lama lagi, 2008 hanya menyisakan kenangan.
Nai Juang menghela napas lega setelah tiba di rumah Juang. Rumah itu masih sama megah saat ia kunjungi sekitar dua tahun lalu. Ando meminta kawan-kawannya mengangkat barang Nai Juang.
Pintu depan terbuka tidak lebih dari sepuluh detik setelah Ando berteriak memanggil nama seseorang. Perempuan yang membuka pintu itu dengan gesit membawa masuk tas dan barang Nai Juang.
“Kak, tunjukkan kamar Opung.” Ando beralih pada Nai Juang. “Aku pigi dulu, Pung!”
“Ke mana?”
“Menghabiskan malam tahun barulah, Pung. Ke mana lagi?”
Nai Juang menatap perempuan itu setelah Ando pergi. “Kau siapa?”
“Juminten, Opung. Pembantu di sini.”
“Di mana Chelsea sama Bella?”
“Chelsea pigi sama kawan-kawannya. Bella ikut bapak sama ibu.”
Nai Juang termangu sangat lama. Sembari menghela napas panjang ia melihat pohon Natal besar yang berada di sudut ruangan. Seminggu telah berlalu, pohon Natal itu masih sangat indah. Lampu-lampu yang mengelilingi berkerlap-kerlip sempurna.
Bukannya memasuki kamar yang ditunjuk Juminten, Nai Juang malah berdiri di bibir teras. Wajahnya mendongak ke atas. Ia menebak-nebak, di sebelah mana gerangan langit Pangururan. Ia ingin memandangnya sampai puas. Nai Juang sangat ingin berada di sana sekarang juga. Tak mengapa sendiri. Setidaknya ia tidak akan kesepian seperti ini.
***
Binjai, 08 Desember 2015



Dimuat di Harian Analisa Medan, Rubrik Cerpen & Puisi 26 Desember 2018














Tidak ada komentar:

Posting Komentar