Minggu, 29 September 2019

Menghadirkan Taman Baca yang Instagramable di Tengah Desa

Bulan April 2019 lalu, saya menghadap lurah tempat tinggal saya untuk sebuah urusan yang berhubungan dengan pekerjaan saya sebagai penulis. Pengakuan beliau,  daerah yang dipimpinnya telah ditetapkan sebagai kampung literasi oleh walikota Binjai.  Berhubung kondisi yang kurang tepat pada saat itu, saya tidak bertanya apa saja kegiatan yang sudah atau akan dilaksanakan sehubungan dengan ditetapkannya desa kami  sebagai kampung literasi.

Dari pengamatan saya, tidak tampak sedikitpun bahwa kampung kami adalah kampung literasi.  Mungkin saya yang salah persepsi, sebab saat mendengar ‘kampung literasi’ yang pertama muncul dalam pikiran adalah tersedianya taman baca,  atau perpustakaan di daerah yang bersangkutan. 

Nah, taman baca atau perpustakaan inilah yang tidak saya temukan saat hunting di kampung saya. Yang saya temukan justru sisa-sisa bahwa di tempat parkir puskesmas dan kantor desa pernah berdiri warung makan yang dikelola PKK kelurahan.




Warung PKK yang sudah terbengkalai. Berada di tempat parkir kantor kelurahan dan puskesmas desa. Dahulu buka
 sore hingga malam. (Dok. pribadi)

Oke, setelah tidak menemukan keberadaan taman baca di tempat tinggal saya, efeknya saya  jadi kepo dengan kampung sebelah.  Hasilnya, setali tiga uang dengan kampung saya.  Entahlah, mungkin ada taman baca namun tidak memiliki papan nama, sehingga luput dari perhatian.


Taman baca biasanya dikelola perorangan. Kebanyakan dari mereka tidak menarik bayaran dari pengunjung. Buku dibaca di tempat, terkadang boleh juga dibawa pulang dalam jangka waktu tertentu.

Lantas, bagaimana taman baca tetap ‘hidup’?

Taman baca ‘hidup’ dari semangat pemiliknya. Semangat untuk memberi bacaan bermutu pada anak-anak di sekitarnya. Bila beruntung, sesekali taman baca  mendapat sumbangan buku dari donator. Tetapi, taman baca tidak cukup hanya dengan buku. Taman baca butuh ruang, waktu, serta pemeliharaan.

Jadi maklum saja bila taman baca yang ada saat ini, kebanyakan, hanya sekadarnya. Buku dipajang dalam rak atau lemari sederhana. Ruangan seadanya serta tidak luas. 

Apakah taman baca tersebut otomatis dipadati pengunjung?

Tidak selalu. Sebab membaca buku belum menjadi budaya masyarakat kita.


Taman Baca yang Instagramable

Sebagian besar masyarakat Indonesia  demam berburu lokasi menarik untuk berfoto. Sejauh apapun lokasi foto yang sedang viral, selama mampu dijangkau, masyarakat pasti menyempatkan berkunjung ke lokasi. Cekrek! Cekrek! Kemudian upload di sosial media.

Lihat  sekeliling kita. Pusat perbelanjaan, cafe, taman, dan objek wisata beramai-ramai menghadirkan sesuatu yang unik untuk lokasi berfoto. Tujuannya, tentu saja, menarik minat pengunjung. Sejauh ini, usaha ini terbilang berhasil. Lokasi-lokasi tersebut mendapat respon dari masyarakat.

Salah satu sudut Taman Selfie Binjai yang selalu dipadati pengunjung. Foto dokumentasi:medan.tribunnews.com


Berkaca dari fenomena ini, saya jadi kepikiran, bagaimana bila tersedia taman baca yang instagramable di setiap desa? Tak usahlah setara taman atau kafe yang dijubeli pengunjung dari segala arah mata angin itu. Cukup menarik saja. Serta nyaman, tentunya.

Taman baca yang menarik serta nyaman, akan memancing masyarakat setempat datang berkunjung, terutama pemuda dan anak. Mulut adalah marketing yang handal, dalam hal ini.  Pada awal kedatangan, mungkin niat mereka hanya berfoto memegang buku  untuk kemudian diunggah di sosial media. 
Apakah itu akan memengaruhi minat baca mereka?

Kita berharap demikian.  Dari sekian banyak pengunjung, tentu ada pecinta buku di antaranya. Mereka inilah semacam magnet penarik bagi pengunjung lain untuk ikut serta membaca buku yang tersedia.

Mewujudkan taman baca yang instagramable tentu butuh dana yang tidak sedikit.  Di sinilah kita harapkan peran pejabat desa. Seperti desa saya yang menjadi kampung literasi, misalnya. Merekalah sumber dana. Untuk penggerak operasional, ini memang tidak mudah. Sangat dibutuhkan sumber daya manusia yang benar-benar mencintai buku serta peduli terhadap kebutuhan masyarakat. 

        Sebagai awal, kita harapkan bapak dan ibu pegawai kantor desa berkenan meluangkan waktu serta menyumbang tenaga. Juga ibu-ibu PKK-nya, tuh! Percayalah, keletihan kalian tidak akan sia-sia. Demi mencerdaskan masyarakat, terutama anak dan pemuda, yang ada di sekitar kalian. 

Ke depan, kita harapkan pecinta buku yang peduli dengan kebutuhan masyarakat akan bacaan berkenan mengerahkan tenaga dan waktunya untuk membantu mengelola taman baca ini.  Bukan harapan yang muluk, sebab tidak sedikit masyarakat yang membuka taman baca di rumahnya secara gratis, bukan?


Setelah taman baca beroperasi, saya membayangkan, sekolah yang berada di sekitar desa memanfaatkan taman baca. Guru-guru membawa anak didiknya berkunjung, membaca buku dan membahasnya. Atau melakukan kegiatan apalah, guru-guru pasti lebih paham mengenai ini.


Anak-anak mengunjungi taman baca yang dikelola masyarakat. Foto dokumentasi Rumah Baca Bercahaya, Padang Sidimpuan


Pengadaan Buku 
Buku merupakan modal utama taman baca. Sekarang ini, harga buku bukan main mahalnya. Terlebih buku anak dengan kualitas bagus. Persedian buku yang tidak berganti akan membuat pembaca malas berkunjung. 

Selalu belanja buku tentunya akan menghabiskan dana besar.  Jadi, untuk menekan biaya pengadaan buku, taman baca bisa membeli buku bekas atau berbelanja saat toko buku melakukan obralan. Dijamin bukunya bagus-bagus juga, kok!

Buku-buku yang saya beli di Pasar Buku Bekas, Medan


Taman baca juga bisa rolling buku dengan taman baca desa yang lain. Dalam periode yang telah ditentukan, misalnya tiga bulan sekali, taman baca saling meminjamkan bukunya. Bisa juga rolling buku dengan perpustakaan sekolah. Memang sih, sekali waktu pengunjung akan menemukan buku koleksi perpustakan sekolahnya berada di taman baca. 


Penutup
Saya kan, udah usul panjang lebar nih, di atas! Mungkin ada yang bertanya, dari mana pihak desa mendapatkan dana untuk taman baca desa? Mengutip iuran dana masyarakat, gitu?

Tenang saja. Kan ada dana desa. Jadi bisalah taman baca mendapat sedikit subsidi dari dana desa. Dana desa jumlahnya tidak sedikit, loh!  Sekadar informasi, tahun 2019 besarnya mencapai 70 triliun untuk seluruh Indonesia.  Menurut kabar, yang digelontorkan sebagai dana desa akan meningkat menjadi 75 triliun untuk tahun 2020. Hitung sendiri deh, berapa karung itu duitnya.

Alokasi dana desa di beberapa daerah Sumatra Utara dalam APBD T.A 2019. (sumber:www.djpk.kemenkeu.go.id)

Eits! Jangan langsung mencibir. Jangan  bilang, ada yang jauh lebih penting sebagai peruntukan dana desa. Membenahi jalan desa misalnya, untuk kesehatan, atau merenovasi rumah ibadah. Atau apalah yang penting asal bukan mendirikan taman baca.

Benar, jalan raya yang mulus memang mempermudah mencapai tujuan. Namun taman baca adalah juga jalan, jalan menuju kepintaran. Lagipula, tidak semua dana desa terserap untuk taman baca. Masih banyak sisanya, kok!

Jadi bagaimana para pejabat desa, berani membangun taman baca yang instagramable di desa yang Anda pimpin?

***


#SahabatKeluarga #LiterasiKeluarga





Tidak ada komentar:

Posting Komentar