Bulan April 2019 lalu,
saya menghadap lurah tempat tinggal saya untuk sebuah urusan yang berhubungan
dengan pekerjaan saya sebagai penulis. Pengakuan beliau, daerah yang
dipimpinnya telah ditetapkan sebagai kampung literasi oleh walikota
Binjai. Berhubung kondisi yang kurang tepat pada saat itu, saya tidak
bertanya apa saja kegiatan yang sudah atau akan dilaksanakan sehubungan dengan
ditetapkannya desa kami sebagai kampung literasi.
Dari pengamatan saya,
tidak tampak sedikitpun bahwa kampung kami adalah kampung literasi.
Mungkin saya yang salah persepsi, sebab saat mendengar ‘kampung literasi’ yang
pertama muncul dalam pikiran adalah tersedianya taman baca, atau
perpustakaan di daerah yang bersangkutan.
Nah, taman baca atau
perpustakaan inilah yang tidak saya temukan saat hunting di kampung saya. Yang
saya temukan justru sisa-sisa bahwa di tempat parkir puskesmas dan kantor desa
pernah berdiri warung makan yang dikelola PKK kelurahan.
Warung PKK yang sudah terbengkalai. Berada di tempat parkir kantor kelurahan dan puskesmas desa. Dahulu buka sore hingga malam. (Dok. pribadi) |
Oke, setelah tidak menemukan
keberadaan taman baca di tempat tinggal saya, efeknya saya jadi kepo
dengan kampung sebelah. Hasilnya, setali tiga uang dengan kampung saya.
Entahlah, mungkin ada taman baca namun tidak memiliki papan nama,
sehingga luput dari perhatian.
Taman baca biasanya dikelola
perorangan. Kebanyakan dari mereka tidak menarik bayaran dari pengunjung. Buku
dibaca di tempat, terkadang boleh juga dibawa pulang dalam jangka waktu
tertentu.
Lantas, bagaimana taman baca
tetap ‘hidup’?
Taman baca ‘hidup’ dari semangat
pemiliknya. Semangat untuk memberi bacaan bermutu pada anak-anak di sekitarnya.
Bila beruntung, sesekali taman baca mendapat sumbangan buku dari donator.
Tetapi, taman baca tidak cukup hanya dengan buku. Taman baca butuh ruang, waktu,
serta pemeliharaan.
Jadi maklum saja bila taman baca
yang ada saat ini, kebanyakan, hanya sekadarnya. Buku dipajang dalam rak atau
lemari sederhana. Ruangan seadanya serta tidak luas.
Apakah taman baca tersebut
otomatis dipadati pengunjung?
Tidak selalu. Sebab membaca buku
belum menjadi budaya masyarakat kita.
Taman Baca yang Instagramable
Sebagian besar masyarakat
Indonesia demam berburu lokasi menarik untuk berfoto. Sejauh apapun
lokasi foto yang sedang viral, selama mampu dijangkau, masyarakat pasti
menyempatkan berkunjung ke lokasi. Cekrek! Cekrek! Kemudian
upload di sosial media.
Lihat sekeliling kita.
Pusat perbelanjaan, cafe, taman, dan objek wisata beramai-ramai menghadirkan
sesuatu yang unik untuk lokasi berfoto. Tujuannya, tentu saja, menarik minat
pengunjung. Sejauh ini, usaha ini terbilang berhasil. Lokasi-lokasi tersebut
mendapat respon dari masyarakat.
Salah satu sudut Taman Selfie Binjai yang selalu dipadati pengunjung. Foto dokumentasi:medan.tribunnews.com |
Berkaca dari fenomena ini, saya
jadi kepikiran, bagaimana bila tersedia taman baca yang instagramable di setiap
desa? Tak usahlah setara taman atau kafe yang dijubeli pengunjung dari segala
arah mata angin itu. Cukup menarik saja. Serta nyaman, tentunya.
Taman baca yang menarik serta
nyaman, akan memancing masyarakat setempat datang berkunjung, terutama pemuda
dan anak. Mulut adalah marketing yang handal, dalam hal ini. Pada awal
kedatangan, mungkin niat mereka hanya berfoto memegang buku untuk
kemudian diunggah di sosial media.
Apakah itu akan memengaruhi minat
baca mereka?
Kita berharap demikian.
Dari sekian banyak pengunjung, tentu ada pecinta buku di antaranya.
Mereka inilah semacam magnet penarik bagi pengunjung lain untuk ikut serta membaca buku yang tersedia.
Mewujudkan taman baca yang
instagramable tentu butuh dana yang tidak sedikit. Di sinilah kita
harapkan peran pejabat desa. Seperti desa saya yang menjadi kampung literasi,
misalnya. Merekalah sumber dana. Untuk penggerak operasional, ini memang tidak
mudah. Sangat dibutuhkan sumber daya manusia yang benar-benar mencintai buku
serta peduli terhadap kebutuhan masyarakat.
Sebagai awal, kita harapkan bapak dan
ibu pegawai kantor desa berkenan meluangkan waktu serta menyumbang tenaga. Juga
ibu-ibu PKK-nya, tuh! Percayalah, keletihan kalian tidak akan sia-sia. Demi
mencerdaskan masyarakat, terutama anak dan pemuda, yang ada di sekitar
kalian.
Ke depan, kita harapkan pecinta
buku yang peduli dengan kebutuhan masyarakat akan bacaan berkenan mengerahkan
tenaga dan waktunya untuk membantu mengelola taman baca ini. Bukan
harapan yang muluk, sebab tidak sedikit masyarakat yang membuka taman baca di
rumahnya secara gratis, bukan?
Setelah taman baca beroperasi,
saya membayangkan, sekolah yang berada di sekitar desa memanfaatkan taman baca.
Guru-guru membawa anak didiknya berkunjung, membaca buku dan membahasnya. Atau
melakukan kegiatan apalah, guru-guru pasti lebih paham mengenai ini.
Anak-anak mengunjungi taman baca yang dikelola masyarakat. Foto dokumentasi Rumah Baca Bercahaya, Padang Sidimpuan |
Pengadaan Buku
Buku merupakan modal utama taman baca. Sekarang ini, harga buku bukan main mahalnya. Terlebih buku anak dengan kualitas bagus. Persedian buku yang tidak berganti akan membuat pembaca malas berkunjung.
Buku merupakan modal utama taman baca. Sekarang ini, harga buku bukan main mahalnya. Terlebih buku anak dengan kualitas bagus. Persedian buku yang tidak berganti akan membuat pembaca malas berkunjung.
Selalu belanja buku tentunya akan menghabiskan dana besar. Jadi, untuk menekan biaya pengadaan buku, taman baca bisa membeli buku bekas atau berbelanja saat toko buku melakukan obralan. Dijamin bukunya bagus-bagus juga, kok!
Taman baca juga bisa rolling buku dengan taman baca desa
yang lain. Dalam periode yang telah ditentukan, misalnya tiga bulan sekali,
taman baca saling meminjamkan bukunya. Bisa juga rolling buku dengan
perpustakaan sekolah. Memang sih, sekali waktu pengunjung akan menemukan buku
koleksi perpustakan sekolahnya berada di taman baca.
Penutup
Saya kan, udah usul
panjang lebar nih, di atas! Mungkin ada yang bertanya, dari mana pihak desa
mendapatkan dana untuk taman baca desa? Mengutip iuran dana masyarakat,
gitu?
Tenang saja. Kan ada dana
desa. Jadi bisalah taman baca mendapat sedikit subsidi dari dana desa. Dana desa jumlahnya tidak sedikit, loh! Sekadar informasi, tahun
2019 besarnya mencapai 70 triliun untuk seluruh Indonesia. Menurut kabar, yang digelontorkan sebagai dana
desa akan meningkat menjadi 75 triliun untuk tahun 2020. Hitung sendiri deh,
berapa karung itu duitnya.
Alokasi dana desa di beberapa daerah Sumatra Utara dalam APBD T.A 2019. (sumber:www.djpk.kemenkeu.go.id) |
Eits! Jangan langsung mencibir.
Jangan bilang, ada yang jauh lebih penting sebagai peruntukan dana desa.
Membenahi jalan desa misalnya, untuk kesehatan, atau merenovasi rumah ibadah.
Atau apalah yang penting asal bukan mendirikan taman baca.
Benar, jalan raya yang
mulus memang mempermudah mencapai tujuan. Namun taman baca adalah juga jalan,
jalan menuju kepintaran. Lagipula, tidak semua dana desa terserap untuk taman
baca. Masih banyak sisanya, kok!
Jadi bagaimana para
pejabat desa, berani membangun taman baca yang instagramable di desa yang Anda
pimpin?
***
#SahabatKeluarga #LiterasiKeluarga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar