Bebeb sudah menunggu di pintu kedatangan sewaktu aku tiba
di sana. Kupeluk tubuhnya erat kemudian mencium pipinya. Ia malah menyosor
bibirku. Bibir kami hanya bersentuhan sekilas. Kutelusuri tubuhnya yang semakin
padat dan Bebeb meraba dadaku.
Bebeb memuji dadaku. Semakin kencang, katanya.
Aku tersenyum, merasa tidak sia-sia rutin mendatangi gym.
“Untukmu.”
Seperti kesepakatan, kami langsung menuju Parapat. Semula
niatku naik mobil travel yang berisi beberapa orang, tetapi Bebeb memutuskan
menyewa mobil itu hanya membawa kami berdua.
Dalam perjalanan, Bebeb mengusulkan sebaiknya aku punya
mobil. Ia bersedia menutupi kekurangannya. Bila aku gengsi menerima bantuannya,
Bebeb bilang uang itu sebagai pinjaman. Supaya kau tidak merasa memanfaatkanku,
tambah Bebeb.
Aku menolak usulan Bebeb. Sepeda motor cukup untukku.
Selain mampuku hanya itu, aku tidak butuh mobil. Sebenarnya, aku dan Bebeb bisa
naik motor sampai ke Parapat. Lebih efisien karena bisa kami pergunakan selama
berada di Parapat dan Samosir.
Bebeb menolak dengan berbagai alasan. Ia enggan naik motor
untuk perjalanan jauh. Takut kecelakaan dan masuk angin. Aku mengerti
kecemasannya.
Aku dan Bebeb menempel di kursi belakang. Kami, terutama Bebeb,
sama sekali tidak menganggap sopir yang membawa kami. Kepala Bebeb bersandar di
bahuku, sengaja wajahku kuhadapkan padanya. Hingga hidungku menyentuh-nyentuh
puncak kepalanya. Wangi rambut Bebeb mengantarku ke langit.
“Bagaimana kabar Jakarta?”
Bebeb bilang, Jakarta terasa sangat sepi tanpaku.
Kepala Bebeb kupindahkan ke pangkuanku. Sekarang, posisi
Bebeb setengah berbaring. Aku tersenyum tipis ketika bertemu mata dengan sopir
melalu spion dalam. Lelaki yang kuduga seusiaku itu tampak salah tingkah. Barangkali
dalam hati ia bersumpah itu terakhir kali ia penasaran dengan kami.
“Bebeb yang melarangku ke Jakarta.”
Sebab aku mencintaimu. Tak mau kehilanganmu, kata Bebeb
dengan pasti.
Aku meliriki sopir. Kepalanya lurus ke depan. Kurasa
sekarang telinga yang ia pasang benar-benar.
Aku setuju dengan Bebeb. Lebih aman memang seperti ini,
Bebeb yang berkunjung ke Medan ketimbang aku ke Jakarta. Di Medan, hanya
beberapa orang yang kenal Bebeb. Itupun setelah kukenalkan. Tidak ada yang tahu
masa lalu kami di sini. Sementara di Jakarta, tidak terhitung yang mengenalku
sekaligus mengenal Bebeb. Mereka tahu kami, latar belakang kami.
Sejak pindah ke Medan dua tahun lalu, tak sekalipun aku
pulang ke Jakarta. Sementara tidak terhitung jumlah Bebeb berkunjung kemari.
Bahkan pernah Bebeb tiba siang hari dan pulang sore harinya. Kami hanya sempat
mampir di sebuah hotel tidak begitu jauh dari bandara.
Kedatangan Bebeb kali ini, termasuk luar biasa. Seminggu
ini kami akan terus bersama-sama di sini. Ini akan menjadi waktu terpanjang
kami setelah Jakarta kutinggalkan. Hartanto tahu Bebeb pergi ke Medan. Tapi
tidak seorang pun tahu sekarang aku menetap di Medan. Sebagai seorang pebisnis
yang rutin melakukan perjalanan ke kota-kota di seluruh Indonesia, memang wajar
Hartanto tidak curiga.
Dulu, Bebeb sudah berjanji di depan semua orang untuk
melepaskan aku dari hati dan pikirannya. Janji itu yang dipegang Hartanto. Janji
bukanlah takdir. Masih bisa dilanggar. Sayang sekali Hartanto tidak berpikir
seperti itu.
Untung juga Hartanto tidak berpikir sampai ke situ. Bila
iya, bisa jadi seumur hidupku tidak bisa bertemu Bebeb lagi. Aku yakin tidak
bisa hidup tanpa Bebeb. Mungkin terdengar memualkan, tapi seperti itu adanya.
Aku sangat mencintai Bebeb. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama, sewaktu
pengambilan raport di sekolah. Bebeb mengambil rapor Kimi. Untungnya aku
lumayan dekat sama Kimi, jadi tidak aneh bila kemudian aku sering ke rumah
Kimi, tentu saja untuk melihat Bebeb.
Seperti sepotong magnet dengan lempengan besi, aku dan
Bebeb nyaris tidak memiliki hambatan untuk merasa saling memiliki.
***
Usiaku baru empat belas tahun ketika ibuku meninggal, dan usiaku belum lima belas tahun ketika ayah membawa istri baru ke rumah. Istri ayahku itulah yang merenggut keperjakaanku, di atas ranjang kamarku. Semula, hari-hari berjalan sangat menakutkan, terutama di saat ayah tidak berada di rumah. Perempuan itu bisa memaksaku di mana saja, tidak melulu di kamar tidurku. Ia pernah memaksaku di kamar mandi, di dapur, di ruang tamu, di kamar tidurnya dan ayah, bahkan di halaman belakang.
Sampai tiba sebuah titik, ketakutan itu hilang dari hatiku,
namun bukan berarti kunikmati. Perbuatan laknat itu semacam kewajiban yang
tidak berarti apapun bagiku. Saat umurku tujuh belas tahun, ibu tiriku mampus
kecelakaan jalan raya.
Aku merayakan kebebasanku.
Barangkali ibu tiriku melaknatku dari surga entah neraka,
karena seharusnya aku berduka atas kematiannya yang tragis. Aku tidak bisa
menyukai perempuan-perempuan di sekelilingku. Kecuali Bebeb, ia cinta
pertamaku.
***
Kami singgah di Pematang Siantar untuk makan. Pukul lima belas
lewat tiga puluh. Tidak tepat dikata makan siang, tapi faktanya aku dan Bebeb
belum makan siang. Setelah sopir tahu tujuan kami sebenarnya ke Tuk-tuk, ia
menjelaskan kapal terakhir ke sana sekitar jam tujuh. Tentu masih ada waktu.
Dari Pematang Siantar ke Parapat tidak sampai tiga jam.
Aku dan Bebeb masih duduk di belakang. Sopir tidak pernah
lagi melirik-lirik melalui spion dalam. Mungkin ia tidak merasa aneh lagi
melihat kemesraanku bersama Bebeb. Dulu aku malu mempertontonkan kemesraan di
depan orang lain. Sepuluh tahun bersama Bebeb agaknya berhasil memutuskan urat
maluku perihal itu. Lagipula kurasa, itulah satu bukti bila cintaku pada Bebeb
benar-benar tulus. Tidak aku peduli pandangan orang lain, yang penting aku
bahagia bersama Bebeb.
Sampai dua tahun lalu, kebahagian itu robek manakala
Hartanto mengetahui hubungan kami. Tidak setitik debu rasa takut muncul di
hatiku. Diam-diam aku bahagia terbongkarnya rahasia itu. Aku berharap Bebeb
mengajakku lari, kemudian kami menikah.
Aku sakit hati manakala Bebeb tidak memilihku. Ia berjanji
akan melupakanku bila diberi kesempatan. Hartanto memberi kesempatan itu. Aku
pun meninggalkan Jakarta atas permintaan Bebeb dan belakangan Kimi. Bebeb tidak
berhak memintaku pergi jauh, tapi kurasa Kimi pantas mendapatkan yang dia
inginkan. Selama ini Kimi sangat baik padaku. Ia tidak menghakimiku ketika
hubunganku dengan Bebeb terbongkar. Padahal seharusnya, membunuhku pun Kimi
pantas.
Entah kenapa malah Medan yang kupilih. Aku tidak memiliki
saudara maupun kenalan di sini. Untungnya kota ini berbaik hati padaku, aku
diterima bekerja di sebuah perusahaan bonafide dengan posisi tidak buruk. Di
sini aku berusaha melupakan Bebeb dan segala kenangan kami. Semakin berjuang
melupakan, semakin kuat Bebeb menggempur hati dan pikiranku.
Hingga satu kesempatan, pertahananku bobol. Kuhubungi nomor
Bebeb yang masih kuhapal. Ternyata, aku dan Bebeb sama-sama tersakiti dengan
perpisahan kami. Esoknya, aku menjemput Bebeb di bandara. Kami menghabiskan dua
hari yang sangat indah.
Begitulah. Aku dan Bebeb menjalin cinta lagi. Tanpa seorang
pun yang tahu. Maksudku, tak seorang pun yang kami kenal tahu kami menjalin
cinta lagi.
Sore yang hitam memayungi langit saat mobil melintasi Penatapan
menuju Parapat. Biasanya, danau Toba sangat indah ditatap dari sini. Sekarang,
airnya yang biru tertutup asap putih kiriman dari provinsi tetangga.
Kutepuk pelan pipi Bebeb yang tertidur di pangkuanku.
“Hampir sampai.” Aku bergumam setelah matanya terbuka.
***
Empat malam kami habiskan di Tuk-tuk, Pulau Samosir. Kami
tak ubah bagai bocah yang sedang mendapatkan mainan baru. Aku sendiri heran
dengan gairahku, terutama gairah Bebeb. Sekejab pun Bebeb seolah enggan menjauh
dariku. Barangkali, jika kupinta, Bebeb bersedia berdiri di sebelahku sembari
memegang tangan kananku ketika aku buang hajat.
Keherananku terjawab sekarang, malam terakhir dari dua
malam yang kami habiskan di Medan. Kami makan di kafe hotel tempat kami menginap.
Bebeb bilang, sudah waktuku mencari perempuan lain.
Perempuan yang pantas mendampingiku menghabiskan sisa hidup.
“Hanya Bebeb yang pantas mendampingiku menghabiskan sisa
hidup. Tidak perempuan lain.”
Bebeb melanjutkan, dia bukan perempuan yang tepat untukku.
Bila diibaratkan sebuah jalan, Bebeb hanya sebuah gang buntu. Sia-sia belaka
menyusuri gang buntu sebab tidak menemukan apa pun pada ujungnya.
“Bebeb matahariku. Bukan gang buntu.”
Bebeb tertawa kencang, tapi terdengar kering. Kemudian ia
berkata, ini malam terakhir kami bersama. Ketika besok pagi menyapa, kami bukan
lagi sepasang kekasih. Bebeb hanya masa laluku, demikian juga aku bagi Bebeb.
“Jangan berkata seperti itu. Hatiku sakit.” Aku tidak malu
menangis di hadapan Bebeb, bahkan bila orang-orang di sekitar kami mengabadikan
air mataku melalui ponsel mereka kemudian menyebarkannya ke dunia maya.
Aku sudah pernah kehilangan Bebeb, aku tidak mau
mengalaminya sekali lagi. Aku tidak kuat.
Semula Bebeb menghapus air mataku dengan kedua tangannya.
Air mataku masih mengucur deras. Bebeb tampak kewalahan, Bebeb menghapus air
mataku dengan lidahnya.
Kemudian, aku dan Bebeb bertangis-tangisan.
“Bebeb, jangan pernah tinggalkan aku, ya.”
Tidak, kita harus putus. Sebab aku akan pergi, tegas Bebeb.
Diam-diam kulepas doa menuju langit. Semoga Tuhan membekukan
waktu. Sehingga aku dan Bebeb saling berpelukan seperti ini sampai hari kiamat
tiba.
Doaku tidak terkabul.
Besoknya, saat terbangun, tidak ada Bebeb di sampingku.
Nomor ponselnya tidak aktif, akun sosial medianya semua tidak dapat kulacak.
Aku merasa gila. Aku harus berbicara dengan Bebeb di
Jakarta. Peduli setan Hartanto suaminya, Kimi anaknya, atau siapapun itu.
***
Tivi masih menyala. Nama-nama penumpang pesawat beserta kru
ditampilkan. Urutan 47 tertulis Miranda Sukesih (55 tahun).
Itu nama Bebeb.
Diduga, tragedi ini diakibatkan kabut asap yang mengepung
langit Kalimantan. Tidak ada korban selamat. Begitu kata pembaca berita.
Aku tidak tahu harus berbuat apa, selain memaki
ketololanku. Seharusnya aku paham, pergi seperti inilah yang dimaksud Bebeb.
Aku mengaku sangat mencintainya, tapi tak mampu menangkap tanda-tanda yang dia
berikan waktu itu.
Bebeb, jangan pergi!
Aku merasa berteriak sangat kencang hingga leherku nyaris
patah, anehnya telingaku tidak menangkap suara apapun.
***
Binjai, 31 Oktober 2015
Cerpen ini saya kirim 1 Juli 2019 ke Harian Analisa Medan, Rubrik Rebana dan dimuat pada 29 September 2019.
Jika ingin cerpenmu dimuat di sini, kirim saja ke email: rajabatak@yahoo.com
Honor 150.000 saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar