Perkenalkan,
namaku Samudera kelvianto Situmorang. Panggil saja Samu. Entah karena nama
depanku, aku sangat suka air. Maksudku, aku sangat suka berada di tepi laut
maupun danau. Aku betah berlama-lama di kedua tempat itu. Anehnya, aku tidak
menyukai berada di dalam kapal yang berlayar. Aku pun tidak bisa berenang.
Jadi
begitu saja. Setiap berkunjung ke tepi laut maupun danau, di sana aku hanya
duduk. Ditemani buku, camilan, serta minuman. Juga laptop. Kalau sudah begitu, waktu berlari sangat cepat
di atas kepala. Tahu-tahu saja matahari hampir tenggelam di ujung air.
Ketika
aku berada di sana, di tepi laut atau danau maksudku, orang asing berpikir aku
seorang lelaki pemalas. Sementara orang-orang bergelut dengan pekerjaan mereka,
aku justru menghabiskan waktu hanya duduk di sana. Membaca buku, menatap air
dan sekitar, atau bermain laptop sembari mengudap makanan.
Aku
tidak perlu menjelaskan pada mereka justru itulah pekerjaanku. Hamparan air,
burung-burung terbang di atasnya, satu dua nelayan mengayuh perahu, bocah-bocah
bermain pasir atau berenang di tepi, atau hanya menatap ombak yang berlarian,
adalah bahan pekerjaanku. Ketika kubuka keran imajinasi selebar-lebarnya,
itulah yang menentukan, apakah bahan yang kutangkap itu menghasilkan atau
tidak.
Tepat,
aku seorang penulis. Apa saja kutulis. Cerpen, novel, puisi, tulisan ringan,
telah banyak kuhasilkan. Namaku memang tidak cukup besar untuk menutupi langit
negeri yang sangat luas ini. Tetapi aku hidup berkecukupan. Memiliki sebuah
rumah mungil di kota, ada sedikit simpanan di bank. Yang terpenting, selalu ada
uang untuk membiayai perjalananku ke tepi laut atau danau di negeri ini.
Seorang
teman pernah menganjurkan, sebaiknya aku menulis di rumah saja. Jadi aku bisa
berhemat cukup banyak. Kebetulan temanku itu seorang sopir angkot. Kuanjurkan
balik padanya, sebaiknya dia mengambil rute yang singkat saja, misalnya dari
jalan raya depan rumah kami sampai terminal, supaya dia menghemat bahan bakar. Uang
untuk beli bahan bakar itu bisa dia pergunakan untuk hal lain.
***
Setelah
minggu lalu kuhabiskan waktu di tepi laut yang menghadap samudera hindia, hari
ini hendak kuhabiskan beberapa hari di Danau Toba. Sekian banyak laut maupun
danau yang kusinggahi, Danau Toba menjadi favoritku. Mungkin penilaianku
subjektif, sebab orangtuaku berasal dari Samosir.
Air
berlari pelan dari langit saat kapal bersandar di dermaga Simanindo. Keluar
dari badan kapal, aku bergegas ke sebuah warung. Biasanya, setiap berkunjung ke
Samosir, gerbang yang kupilih adalah Tuktuk, Tomok, dan sesekali Pangururan.
Ini kali pertama aku masuk dari Simanindo. Kejadian tragis tenggelamnya kapal
motor beberapa bulan lalu membuatku memilih rute ini. Aku ingin tahu, di mana
tepatnya kapal tersebut karam hingga dasar Toba memeluk jasad korban hingga kini.
Anehnya,
saat berada di kapal tadi, hal tersebut tidak kutanyakan pada teman
seperjalanan. Aku terlalu cemas pada kondisi air yang berombak, angin yang
cadas, juga hujan yang lunak.
Duduk
di sudut warung, ditemani teh manis dan mi instan cup. Entah karena hujan yang
lunak atau memang biasa seperti ini, dermaga ini sangat sepi. Sebuah kapal
bersandar, menunggu penumpang hendak dibawa ke pelabuhan Tigaras. Namun tiada orang melintas apalagi bergegas
masuk ke lambung kapal.
Hanya
seorang perempuan tua duduk di tepi dermaga. Sepertinya ia tidak memasalahkan
hujan, atau ia merasa aman di bawah lilitan ulos usang di puncak kepalanya.
Telah cukup lama perempuan itu duduk di sana. Setidaknya, sejak aku keluar dari
lambung kapal, perempuan tua itu sudah berada di sana. Dengan penuh minat ia
menatap penumpang yang turun. Sekarang, mi cup instant telah berpindah ke dalam
perutku, dan perempuan itu masih duduk di sana.
Pandanganku
tidak lepas darinya, namun imajinasiku bergerak liar.
Apa
yang dilakukan perempuan tua itu?
Menunggu
anaknya, kah?
Sedang
bertengkar dengan suami?
Atau
sebenarnya ia sedang menimbang-nimbang hendak menyeburkan diri ke dalam air?
Akan
kupilih salah satu sebab di atas. Selanjutnya, akan kutentukan akhirnya. Untuk
perempuan setua dia, sekurus dia, aku ingin dia bahagia di ujung ceritaku.
Bergegas
kukeluarkan laptop dari ransel. Cerita ini harus segera kurangkai, sebelum rohnya
mengelupas dari kepalaku.
Perempuan di Tepi Danau.
Itu
judul yang sangat sesuai.
***
Kurasa
aku terlalu lama tersesat dalam imajinasi hingga tidak sadar hujan sangat tajam
menghantam atap seng warung. Kutemukan perempuan tua itu berdiri di tepi luar
warung. Mungkin ia kedinginan sehingga tangan
kurusnya saling mendekap di dada tipisnya.
Jarak
yang memisah kami sudah tipis sekarang, membuatku leluasa mengamati wajahnya.
Ada gelisah bermain di kedua bola matanya yang terus saja menatap ke danau. Padahal,
hujan yang rapat membuat jarak pandang sangat terbatas.
Apa
yang dicarinya di danau sana?
Aku
sedang berpikir hendak mengajak perempuan itu berbagi meja denganku. Akan
kujamu ia dengan sepiring mi instan dan teh manis ketika pemilik warung
menghampirinya.
“Pulang
saja, Nantulang! Lihat ombak tinggi itu, tak akan pulang orang itu sekarang.”
Perempuan
itu menatapnya.
“Nanti
kusuruh pun orang itu cepat pulang kalau
sudah datang.”
Ada
ragu pada wajah perempuan tua itu.
“Ayam-ayammu
belum masuk kandang, kan?”
Laksana
ada yang menepuk kening perempuan itu. Hujan yang tajam menyambut tubuhnya
begitu ia melangkah pelan dari tepi warung. Begitu santai langkahnya, seolah
hujan yang menikam tubuhnya hanyalah tiupan sepoi angin. Sembari melangkah
sesekali ia menolehi danau.
“Siapa
yang dia tunggu?” Aku sangat penasaran.
“Anak,
dua cucu dan menantunya. Kasihan dia.”
“Kenapa?”
“Mereka
berempat korban kapal tenggelam waktu itu. Jasadnya saja tidak ditemukan, mana
mungkin bisa pulang. Dia bangun dunia
dalam kepalanya sendiri, bahwa keluarganya itu hanya belum pulang dari Medan.
Jadi, dari pagi sampai sore dia duduk menunggu di sini.”
“Setiap
hari?”
“Setiap
hari.”
“Harus
ada keluarga menahannya di rumah.”
“Dia
sebatangkara sekarang.”
Dadaku
dibanjiri duka. Kualihkan pandangan pada danau, namun terhalang hujan yang tajam
dan rapat. Kubayangkan tubuh-tubuh yang terbujur di dasar danau, entah di kedalaman
berapa. Tiba-tiba, seperti kulihat perempuan tua tadi menari di atas danau.
Timbul tenggelam di antara gunung ombak yang berlari ke tepi.
Kutekan
Ctrl+A kemudian delete pada laptop hingga yang tampak hanyalah lembaran putih
kosong. Tak sanggup kutuliskan kisah perempuan tua itu.
***
Binjai, 7
Februari 2019
Dimuat di Rubrik Rebana Harian Analisa, 3 Maret 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar