Kamis, 21 November 2019

Perempuan di Tepi Danau



Perkenalkan, namaku Samudera kelvianto Situmorang. Panggil saja Samu. Entah karena nama depanku, aku sangat suka air. Maksudku, aku sangat suka berada di tepi laut maupun danau. Aku betah berlama-lama di kedua tempat itu. Anehnya, aku tidak menyukai berada di dalam kapal yang berlayar. Aku pun tidak bisa berenang.

Jadi begitu saja. Setiap berkunjung ke tepi laut maupun danau, di sana aku hanya duduk. Ditemani buku, camilan, serta minuman. Juga laptop.  Kalau sudah begitu, waktu berlari sangat cepat di atas kepala. Tahu-tahu saja matahari hampir tenggelam di ujung air.

Ketika aku berada di sana, di tepi laut atau danau maksudku, orang asing berpikir aku seorang lelaki pemalas. Sementara orang-orang bergelut dengan pekerjaan mereka, aku justru menghabiskan waktu hanya duduk di sana. Membaca buku, menatap air dan sekitar, atau bermain laptop sembari mengudap makanan.

Aku tidak perlu menjelaskan pada mereka justru itulah pekerjaanku. Hamparan air, burung-burung terbang di atasnya, satu dua nelayan mengayuh perahu, bocah-bocah bermain pasir atau berenang di tepi, atau hanya menatap ombak yang berlarian, adalah bahan pekerjaanku. Ketika kubuka keran imajinasi selebar-lebarnya, itulah yang menentukan, apakah bahan yang kutangkap itu menghasilkan atau tidak.

Tepat, aku seorang penulis. Apa saja kutulis. Cerpen, novel, puisi, tulisan ringan, telah banyak kuhasilkan. Namaku memang tidak cukup besar untuk menutupi langit negeri yang sangat luas ini. Tetapi aku hidup berkecukupan. Memiliki sebuah rumah mungil di kota, ada sedikit simpanan di bank. Yang terpenting, selalu ada uang untuk membiayai perjalananku ke tepi laut atau danau di negeri ini.
Seorang teman pernah menganjurkan, sebaiknya aku menulis di rumah saja. Jadi aku bisa berhemat cukup banyak. Kebetulan temanku itu seorang sopir angkot. Kuanjurkan balik padanya, sebaiknya dia mengambil rute yang singkat saja, misalnya dari jalan raya depan rumah kami sampai terminal, supaya dia menghemat bahan bakar. Uang untuk beli bahan bakar itu bisa dia pergunakan untuk hal lain. 
***

Setelah minggu lalu kuhabiskan waktu di tepi laut yang menghadap samudera hindia, hari ini hendak kuhabiskan beberapa hari di Danau Toba. Sekian banyak laut maupun danau yang kusinggahi, Danau Toba menjadi favoritku. Mungkin penilaianku subjektif, sebab orangtuaku berasal dari Samosir.
Air berlari pelan dari langit saat kapal bersandar di dermaga Simanindo. Keluar dari badan kapal, aku bergegas ke sebuah warung. Biasanya, setiap berkunjung ke Samosir, gerbang yang kupilih adalah Tuktuk, Tomok, dan sesekali Pangururan. Ini kali pertama aku masuk dari Simanindo. Kejadian tragis tenggelamnya kapal motor beberapa bulan lalu membuatku memilih rute ini. Aku ingin tahu, di mana tepatnya kapal tersebut karam hingga dasar Toba memeluk jasad korban  hingga kini.
Anehnya, saat berada di kapal tadi, hal tersebut tidak kutanyakan pada teman seperjalanan. Aku terlalu cemas pada kondisi air yang berombak, angin yang cadas, juga hujan yang lunak.
Duduk di sudut warung, ditemani teh manis dan mi instan cup. Entah karena hujan yang lunak atau memang biasa seperti ini, dermaga ini sangat sepi. Sebuah kapal bersandar, menunggu penumpang hendak dibawa ke pelabuhan Tigaras.  Namun tiada orang melintas apalagi bergegas masuk ke lambung kapal.

Hanya seorang perempuan tua duduk di tepi dermaga. Sepertinya ia tidak memasalahkan hujan, atau ia merasa aman di bawah lilitan ulos usang di puncak kepalanya. Telah cukup lama perempuan itu duduk di sana. Setidaknya, sejak aku keluar dari lambung kapal, perempuan tua itu sudah berada di sana. Dengan penuh minat ia menatap penumpang yang turun. Sekarang, mi cup instant telah berpindah ke dalam perutku, dan perempuan itu masih duduk di sana.

Pandanganku tidak lepas darinya, namun imajinasiku bergerak liar.
Apa yang dilakukan perempuan tua itu?
Menunggu anaknya, kah?
Sedang bertengkar dengan suami?
Atau sebenarnya ia sedang menimbang-nimbang hendak menyeburkan diri ke dalam air?
Akan kupilih salah satu sebab di atas. Selanjutnya, akan kutentukan akhirnya. Untuk perempuan setua dia, sekurus dia, aku ingin dia bahagia di ujung ceritaku.
Bergegas kukeluarkan laptop dari ransel. Cerita ini harus segera kurangkai, sebelum rohnya mengelupas dari kepalaku.
Perempuan di Tepi Danau.
Itu judul yang sangat sesuai.


***
Kurasa aku terlalu lama tersesat dalam imajinasi hingga tidak sadar hujan sangat tajam menghantam atap seng warung. Kutemukan perempuan tua itu berdiri di tepi luar warung. Mungkin ia kedinginan sehingga tangan  kurusnya saling mendekap di dada tipisnya.

Jarak yang memisah kami sudah tipis sekarang, membuatku leluasa mengamati wajahnya. Ada gelisah bermain di kedua bola matanya yang terus saja menatap ke danau. Padahal, hujan yang rapat membuat jarak pandang sangat terbatas.
Apa yang dicarinya di danau sana?

Aku sedang berpikir hendak mengajak perempuan itu berbagi meja denganku. Akan kujamu ia dengan sepiring mi instan dan teh manis ketika pemilik warung menghampirinya.
“Pulang saja, Nantulang! Lihat ombak tinggi itu, tak akan pulang orang itu sekarang.”
Perempuan itu menatapnya.
“Nanti kusuruh pun  orang itu cepat pulang kalau sudah datang.”
Ada ragu pada wajah perempuan tua itu.
“Ayam-ayammu belum masuk kandang, kan?”

Laksana ada yang menepuk kening perempuan itu. Hujan yang tajam menyambut tubuhnya begitu ia melangkah pelan dari tepi warung. Begitu santai langkahnya, seolah hujan yang menikam tubuhnya hanyalah tiupan sepoi angin. Sembari melangkah sesekali ia menolehi danau.

“Siapa yang dia tunggu?” Aku sangat penasaran.
“Anak, dua cucu dan menantunya. Kasihan dia.”
“Kenapa?”
“Mereka berempat korban kapal tenggelam waktu itu. Jasadnya saja tidak ditemukan, mana mungkin bisa pulang.  Dia bangun dunia dalam kepalanya sendiri, bahwa keluarganya itu hanya belum pulang dari Medan. Jadi, dari pagi sampai sore dia duduk menunggu di sini.”
“Setiap hari?”
“Setiap hari.”
“Harus ada keluarga menahannya di rumah.”
“Dia sebatangkara sekarang.”

Dadaku dibanjiri duka. Kualihkan pandangan pada danau, namun terhalang hujan yang tajam dan rapat. Kubayangkan tubuh-tubuh yang terbujur di dasar danau, entah di kedalaman berapa. Tiba-tiba, seperti kulihat perempuan tua tadi menari di atas danau. Timbul tenggelam di antara gunung ombak yang berlari ke tepi.

Kutekan Ctrl+A kemudian delete pada laptop hingga yang tampak hanyalah lembaran putih kosong. Tak sanggup kutuliskan kisah perempuan tua itu.
***
Binjai, 7 Februari 2019




Dimuat di Rubrik Rebana Harian Analisa, 3 Maret 2019






Tidak ada komentar:

Posting Komentar