Jumat, 20 Agustus 2010

Apa Agamamu?

"Apa agamamu?"
"Agamaku A."
"Kenapa agamamu A?"
"Karena orang tuaku beragama A."
"Salah. Agamamu A, karena kau percaya dengan agama A."

Mungkin dialog di atas pernah kita lakoni ketika masih berada di SD. Guru menanyakan hal tersebut kepada muridnya. Benar atau tidaknya dialog di atas, bukan hal tersebut yang akan aku ceritakan.

Agamaku Kristen, Kristen Protestan. Semua anak orangtuaku beragama Kristen. Sepupuku banyak berpindah agama karena menikah. Buatku sendiri, pindah agama karena menikah sama dengan ke laut aje! Tapi aku akan terkagum-kagum jika seseorang pindah agama karena memang mengikuti kata hatinya. Meskipun ia berpindah dari agama yang kuanut ke agama yang lain. (memang, selalu yang berpindah agama karena menikah mengatakan, ia pindah agama bukan karena hendak menikah, tapi karena panggilan hati)

Ketika SMA dan kuliah, tidak sedikit teman yang terkecoh dengan agamaku. Bukan karena aku malas ke gereja, tapi karena toleransiku (menurutku) yang memang luar biasa. Aku tidak jarang ikut 'beristirahat' di musholla kampus. Aku tidak segan-segan membaca buku agama yang tidak kuanut.

Aku juga beberapa kali menjalin hubungan dengan seseorang yang tidak seagama denganku, bahkan setelah kuhitung, aku justru lebih banyak menjalin hubungan dengan seseorang yang berbeda agama denganku daripada yang seagama. Hal ini bukan kesengajaan, tapi memang panah cintaku yang tertancap ke sana.

Tidak jarang, ketika kuliah dulu, teman-temanku membicarakan tentang agama yang kuanut, padahal aku ada di antara mereka. Itu karena mereka tidak tahu aku beragama yang sedang mereka gosipkan itu. Jika begitu, aku hanya diam. Tidak lantas mengatakan kepada teman seagamaku, jika teman-teman tersebut telah menghina agama kami.

Aku miris sekali jika melihat pertikaian karena agama di negeri ini. Terkadang, penyebabnya sepele saja. Banyak sekali orang berpikir, perihal agama, tidak ada maaf untuk kesalahan sekecil apapun. Kesalahan harus dibayar dengan serangan.

Oke, kuakui. Keluargaku bukan penganut agama yang taat. Aku sendiri jarang ke gereja. Tapi urusan agama, ia berdiri kokoh di dasar hatiku. Ia tidak akan goyah. Tapi aku sangat membuka hati dengan agama lain. Artinya, aku tidak anti dengan agama lain. Tapi untuk saat ini, kubilang dengan TEGAS, aku tidak akan berpindah agama, sampai kapanpun, apalagi hanya karena pernikahan.

Agama bukan statusku. Agama adalah jiwaku.

Mungkin, dengan begini tidak akan ada pertumpahan darah karena agama yang berbeda. Tidak akan ada pengrusakan rumah ibadah. Yang ada hanyalah toleransi dan menerima perbedaan sebagai sesuatu yang indah, yang akan membuat kita kaya.

2 komentar:

  1. hehehe...aku juga sempat bingung, agamamu sebenarnya apa. Di Fb aku pernah nge-tag bukuku yang bernuansa Islam. Soal kartu lebaran...yaah...aku kan punya salah nggak cuma sama orang yang seagama denganku. Aku sendiri nggak aneh dgn perbedaan agama dalam keluarga. Bapakku (alm) itu seperti yg kamu bilang San, menemukan agama dari pencarian.

    BalasHapus
  2. Gak apa-apa, Ret. Jangan kata ngetag buku, dulu, yang ngirim kartu Lebaran juga ada. Yang nyalam dan bilang selamat idul fitri juga ada. Tapi kebanyakan, yang langsung berbahasa Hokkian sama aku itu paling banyak. terutama waktu masih SMA dulu....

    BalasHapus