Kamis, 09 Desember 2010

Menjemput Luka



Setiap orang bisa berbuat salah, karena tidak ada manusia yang sempurna. Demikian juga Rudi. Tapi entahlah, sepertinya salah itu akan selamanya mengikuti hidupnya.

“Kesalahanmu sungguh besar. Amat tak terampunkan. Aku saja yang hanya mendengar, sempat terpancing emosi,” kata Badrun, teman Rudi di pasar.

Rudi seorang pedagang ayam potong, di pasar. Demikian juga Badrun. Mereka berdua tidak memiliki kios, hanya sebuah meja permanen di pinggir jalan yang kerap becek, dan tentu saja berbau sengit. Meja mereka berdampingan. Tidak pernah mereka serasa bersaing. Karena diyakini betul oleh keduanya: rejeki sudah diatur oleh yang diatas.
Keduanya berteman akrab. Sejak sekitar sepuluh tahun yang lalu. Istri mereka juga saling mengenal, walau mereka tinggal di beda tempat, beda kompleks. Mereka berjualan di pasar, hanya dari jam enam sampai sekitar jam satu siang. Setelah itu mereka pulang ke rumah masing-masing. Tidak jarang setelahnya, mereka janji bertemu di suatu tempat.

Sebenarnya sifat Rudi dan Badrun amat berbeda. Rudi sangat pendiam dan tenang (karenanya Badrun sering menyindir, Rudi tidak pantas menjadi orang pasar). Sedangkan Badrun suka ngomong dan riang selayaknya bola bekel. Badrun juga suka sekali jajan. Setiap kali ia jajan, selalu diajaknya Rudi. Beberapa kali Rudi berhasil menolak. Setiap kali Badrun ngamar, Rudi hanya duduk sembari merokok dan sesekali meminum bir, di warung yang ada di lokalisasi itu.

Rudi sangat bisa menjaga rahasia Badrun itu dan Rudi yakin, Badrun juga pasti bisa menjaga rahasianya. Maka ia berbagi kisah hidup kepada temannya itu. Tujuannya hanya satu, agar Badrun tidak lagi bertanya setiap kali jelang Lebaran, mengapa Rudi dan keluarganya tidak pernah pulang.

Lelaki pendiam itu tidak menduga, Badrun akan memberi komentar seperti itu. Dikiranya Badrun akan mengatakannya lelaki jagoan, atau apalah.

“Aku memang brengsek. Seperti yang kau tahu. Tapi aku tidak akan pernah menyakiti keluargaku secara terang-terangan seperti yang kau lakukan. Ya, ampun! Dimana otakmu ketika itu? Andaipun ketika itu otakmu sedang berada di pantat, kau tidak sepantasnya melakukan itu.”

Rudi hendak protes. Tentu saja ketika itu otaknya berada di tempatnya, di dalam batok kepalanya. Ia melakukannya karena cinta. Seharusnya Badrun mengerti, cinta menjadikan yang mustahil menjadi mungkin. Sepuluh tahun kejadian itu tersimpan rapat-rapat dalam kotak kenangannya.

Ingin sekali Rudi semua itu berkarat lalu tinggal serpihan debu. Agar tidak menyisakan sesuatu di kepalanya.
Tetapi ternyata kejadian itu mengkristal lebih keras dari berlian, ia tetap utuh bahkan berkilau di dalam kotak kenangannya, yang tersimpan jauh di lubuk hatinya. Sudah sepuluh tahun ia berada di kota ini. Tidak pernah pulang ke desanya. Tidak mengetahui keadaan kedua orang tua dan saudara-saudaranya. Terutama Johan.
Rudi ingin pulang. Sekali saja. Jika kedua orang tuanya masih ada, ia ingin bersimpuh di kaki mereka. Memohon ampun atas perbuatannya dulu. Semoga saja mereka memaafkannya setelah melihat ketiga anak Rudi yang sangat menggemaskan itu. Rudi juga ingin memeluk Johan abangnya dan mengabdikan sisa usianya dengan merawat abangnya itu.

Johan, abang yang sangat ia sayangi sebenarnya. Lebih dari ketiga abangnya yang lain. Mereka tumbuh bersama, mungkin karena usia yang hanya terpaut tak sampai dua tahun. Rudi menjadikan Johan sebagai panutan. Abangnya itu juga yang mengajarkan bagaimana laki-laki menyikapi hidup.

Tetapi rasa takut dan bersalah selalu berhasil menahan keinginannya untuk pulang. Mungkin ia memerlukan pendapat orang lain perihal masalahnya. Seseorang yang bisa bertindak objektif. Ia pikir, Badrun adalah orang yang tepat.

Ucapan Badrun, semakin menambah ketakutannya untuk pulang. Ia semakin merasa bersalah. Tapi ia tidak pernah menyesali tindakannya dulu. Karena jika ia sesali, itu berarti dia tidak mensyukuri kehadiran ketiga anak-anaknya. Karena perbuatan nekatnya dululah yang telah menghadirkan ketiga anaknya itu.

“Kurasa, buang jauh-jauh keinginanmu untuk pulang. Barangkali mereka sudah melupakanmu dan menganggapmu mati. Untuk apa membangunkan kenangan pahit itu lagi?”

Benarkah demikian?
***

Seringkali ia memergoki Sumi duduk bengong di depan jendela. Apalagi ketika senja bercampur hujan, di saat langit semakin buram dan jalanan menjadi kabur. Rudi pasti tidak salah menebak, apa yang tengah berlompatan di benak istrinya itu di saat seperti itu. Sepuluh tahun memang bukan sebentar untuk dijalani. Tetapi waktu itu teramat singkat untuk yang disebut luka. Luka untuk keluarga mereka.

Rudi tidak pernah berniat untuk mengusik Sumi. Ia biarkan perempuan itu bermain-main dengan pikirannya. Barangkali saja ia tengah kembali ke masa lalunya, di mana belum ada Rudi di sana. Biarlah Sumi berkubang dengan masa lalunya. Jika itu bisa membuatnya bahagia, atau setidaknya mengurangi rasa bersalah di dadanya.

Ia mencinta Sumi. Sejak pertama melihatnya, dulu. Ketika itu Rudi meratap dalam diam, mengapa ia dipertemukan dengan Sumi di hari itu. Bukan jauh sebelumnya, atau sehari saja sebelum hari pertemuan mereka. Segalanya pasti berbeda.

Namun waktu tidak akan pernah mundur sedetik saja. Ia terus bergerak ke depan. Dan Rudi sangat mengerti, ia tidak bisa menyalahkan waktu. Ia hanya bisa memanfaatkan waktu. Mengambil celah yang ada untuk meraih apa yang dia inginkan. Tanpa memikirkan resiko yang timbul, tanpa memikirkan perasaan orang lain.

Sekarang, sepuluh tahun sudah Sumi menjadi miliknya. Perempuan itu memilih mendampinginya tanpa banyak tuntutan. Tetapi mengapa rasa bersalah itu semakin kerap mengepung hati Rudi? Sebuah pertanyaan juga semakin sering mengusik pikirannya: bahagiakah Sumi selama ini?

Sumi masih duduk bengong di depan jendela kamar mereka. Menatapi hujan-hujan yang jatuh di daun-daun bunga, menikmati hujan-hujan yang jatuh di atap rumah. Mungkinkah juga meratapi sesuatu? Di luar terdengar tawa canda ketiga anak mereka.

Rudi memilih diam-diam menutup pintu kamar dan bergabung dengan ketiga buah hatinya. Biarlah Sumi menikmati semuanya. Menikmati ziarah hatinya.

Tidak sekali dua kali anak-anak menanyakan di mana kampung mereka, dan setiap kali Lebaran merengek minta pulang ke sana. Terutama si sulung, yang sekarang berusia sembilan tahun. Rudi memilih tidak berdusta. Ia berkata sejujurnya, kakek dan nenek mereka berada di sebuah desa di Jawa Timur. Mereka memiliki tiga paman dan dua orang tante. Memang anak-anak jadi semakin sering minta pulang kampung, tapi Rudi selalu punya alasan yang tepat.

Lebaran kemarin, anak-anak tidak merengek lagi. Mungkin mereka sudah bosan atau memang merasa mereka tidak perlu pulang kampung. Mereka lahir dan tumbuh di Jakarta ini, inilah kampung mereka. Barangkali begitu pikir mereka.

Justru Rudi yang ingin pulang. Sangat ingin. Dan dia juga tahu, meski tidak terucap, Sumi jauh sangat ingin pulang ketimbang dirinya.
***

Entah rindu atau rasa bersalah yang telah berhasil mengalahkan ketakutan di hati Rudi, akhirnya ia memutuskan mereka harus pulang kampung. Anak-anak sempat protes, mengapa harus pulang sekarang, bukan di hari Lebaran atau libur sekolah.

Rudi tidak perlu menjelaskan panjang lebar. Yang penting anak-anak harus ikut. Itu saja.

Mata Sumi sempat terbelalak ketika Rudi menyampaikan niatnya. Tapi istrinya itu diam saja ketika Rudi berusaha membaca matanya. Lelaki itu mengerti, Sumi berada dalam situasi yang sulit. Hatinya terbelah dua. Sebelah hati tentu saja sangat menginginkannya untuk pulang, dan sebelah lagi takut untuk pulang. Sebenarnya sama saja dengan hati Rudi.

“Pikirkan baik-baik keputusanmu,” kata Badrun ketika Rudi berkata, besok mereka akan pulang kampung. “Anggap saja dirimu sudah mati. Habis perkara. Untuk apa mengganggu mereka lagi. Berdoa saja keluargamu sudah melupakan kau pernah menjadi bagian mereka.”

Rudi bersikukuh, karena dia memang belum mati. Juga sebenarnya, karena belum matilah ia memilih pulang. jika bisa, ia ingin menebus semua salah itu. Sepahit dan sesusah apapun caranya.

Di dalam bis, Rudi mencari-cari tangan Sumi. Lalu ia genggam erat tangan itu. Ia berusaha mencari sekaligus memberi kekuatan. Sementara ketiga anak mereka, pulas dalam tidurnya.

Aku pulang, mencoba menebus semua salah. Mampukah? Tanya Rudi dalam diam.

Dan kesalahan itu, seolah berdesakan dan berhamburan keluar dari kotak kenangannya.
***

“Kita lari saja. Tinggalkan semuanya. Apalagi yang kau harap dari Johan? Ia akan lumpuh selamanya.”

“Ada Kemal, anak kami.”

“Kita bawa dia. Kujadikan anakku.”

Sumi terdiam. Tangannya pelan mengayun bayi berusia sembilan bulan yang pulas itu. Itu buah cintanya dengan Johan. Keponakan Rudi. Sesungguhnya, cintanya kepada Johan tidak pupus, meski Johan terkena musibah. Ia jatuh ketika memanjat pohon kelapa dan membuat pinggang sampai ke kakinya lumpuh. Sumi yakin mereka bertiga akan bertahan hidup dengan kedua tangan dan kakinya. Ia teramat tegar, seperti karang di tepi pantai.

Tapi Rudi datang serupa ombak kecil yang memecah di tepi pantai. Tiada lelahnya berusaha mengikis benteng kesetiaan Sumi. Pelan dan sabar. Dan setegar apapun Sumi, ia tetap seorang perempuan, bukan sebuah karang. Keberadaan Rudi dengan segala perhatiannya menjadi semacam oase kecil di tengah gurun. Kepalanya yang selama itu tersumbat dengan rasa cinta kepada Johan, menjadi terbuka. Menyebabkan ia ragu dan mulai berpikir. Ia masih muda dan cantik. Sampai berapa lama ia bertahan mendampingi Johan?

Rudi mengajaknya lari ke Jakarta. Mencoba hidup di sana. Membawa serta Kemal, anaknya. Aih. Aih. Kenapa tidak ia coba?

Senja itu ketika langit bergerimis, ia dan Rudi mengendap-endap keluar dari rumah. Kemal gelisah dalam dekapannya. Ia mulai rewel dan akhirnya menangis. Mungkin tak ingin dipisahkan dari ayahnya.

“Tinggalkan saja.”

“Tapi….”

“Ayo, kita lari! Sebelum terlihat orang-orang rumah.”

“Tidak!”

Rudi merebut Kemal dari pelukan Sumi dan meletakkan begitu saja di samping rumah. Terseret-seret kaki Sumi ditarik Rudi meninggalkan rumah mertuanya, rumahnya. Ia tidak tahan mendengar lengkingan anaknya. Tapi kakinya semakin berlari menjauh ketika mendengar teriakan bapak mertuanya.

“Hei, mau lari kemana kalian?”

Mereka berlari bagai kijang. Menembus hujan dan senja yang buram. Terus berlari. Mengejar bahagia, meski dengan meninggalkan banyak duka.
***

“Pak, sudah sampai di terminal.”

Rudi tersentak mendengar teguran kernet itu. Ia tergeragap dan melempar pandang keluar. Ada senja dan gerimis di luar bis. Tiba-tiba saja seperti ada yang bergerak dalam hatinya. Kotak kenangan itu tertutup lagi.

Ia belum siap untuk pulang. Menjemput luka.
***
Binjai, 23 Februari 2010
Dimuat di rubrik Rentak, Harian Medan Bisnis, 21 November 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar