Menyongsong Asian Games
Api Olimpiade Rio 2016 sudah padam. Atlet Indonesia
membawa pulang satu medali emas dan dua perak. Hasil ini menempatkan Indonesia
di urutan ke-46 dari total 206 negara
yang ambil bagian di Olimpiade Rio 2016. Sementara sekawasan Asia Tenggara, Indonesia
di urutan kedua. Di bawah Thailand yang mengoleksi masing-masing dua emas,
perak dan perunggu.
Berdasarkan target, hasil satu emas dan dua perak
terbilang mengecewakan. Karena atlet Indonesia berangkat ke Rio de Janeiro
dengan mengusung target tiga medali emas. Kekecewaan itu semakin tebal sebab
ketiga medali yang dibawa pulang tersebut masih saja dari bulutangkis dan
angkat besi. Artinya, tidak ada cabang olahraga baru yang berhasil menyumbang
medali selama kesertaan Indonesia dalam olimpiade. Sejauh ini, hanya panahan,
bulutangkis dan angkat besi sebagai penyumbang medali Indonesia selama
olimpiade. Semakin was-was lagi, tiga dari empat atlet perebut medali, sudah terbilang
senior. Bahkan ada yang sudah berada di penghujung karier sebagai atlet.
Olimpiade Rio 2016 telah berakhir. Segala kegagalan
tidak perlu lagi disesali. Semua kebahagiaan selayaknya disimpan kembali.
Waktunya sekarang berbenah dan mempersiapkan diri untuk pertempuran empat tahun
mendatang. Di Tokyo Jepang dalam Olimpiade 2020.
Ada jarak empat tahun. Tahun-tahun ini akan terasa
panjang jika berada dalam pikiran. Namun terasa singkat untuk menghadirkan
seorang juara. Sebab sang juara tidak lahir begitu saja. Sebelumnya ia harus
dipilih, dibina, dibentuk, kemudian diterjunkan ke medan pertempuran.
Sebelum pandangan kita arahkan pada olimpiade 2020.
Mari pandangan kita lempar lebih dekat lagi. Ada Asian Games 2018 dan Sea Games
2017. Bukan mengecilkan Sea Games 2017 bila perhatian kita pusatkan pada Asian
Games 2018. Sebab di ajang sekawasan Asia itu Indonesia menjadi tuan rumah.
Selain sukses sebagai penyelenggara, masyarat tentu berharap Indonesia juga
sekaligus sukses prestasi. Kita ingin atlet Indonesia mampu bersaing dengan
atlet negara-negara lainnya kemudian menaikkan bendera merah putih di puncak
tiang tertinggi. Akan menyedihkan atlet-atlet Indonesia hanya menjadi penonton
di laga-laga akhir.
Flashback di Asian Games 2014 di Incheon, Korea.
Indonesia berada di urutan ke-17 setelah berhasil mengumpulkan 4 emas, 5 perak serta 11 perunggu. Jumlah ini sangat
sedikit dibandingkan medali yang direbut Tiongkok sebagai pemegang rekor peraih
medali terbanyak Asian Games Incheon 2014. Sebagain tuan rumah Asian Games
2018, kita tentu berharap medali jauh lebih banyak dari hasil Asian Games 2014.
Untuk merealisasikannya memang tidak mudah. Itu akan
tercapai dengan kerja keras. Tidak cukup dengan duduk berpangku tangan kemudian
merapal doa-doa selama pertandingan.
Kerja Keras Dimulai
Selepas Olimpiade Rio 2016, masyarakat awam
barangkali tidak begitu tahu, September 2016 akan berlangsung PON XIX/2016 Jawa
Barat. Di sinilah pekerjaan dimulai.
Tim-tim pemantau bakat harus jeli mencari atlet ke lapangan. Bukan sekadar
melihat siapa peraih medalinya. Karena bisa saja atlet muda yang sebenarnya
sangat berbakat dan berpotensi luar biasa, tersingkir di babak awal
pertandingan.
Setelah PON usai, atlet-atlet pilihan ini
dikumpulkan di pusat pelatihan. Dalam jangka satu tahun, mereka diterjunkan di
Sea Games 2017 di Kuala Lumpur dan
diharapkan bersinar setahun kemudian, di Asian Games 2018.
Induk organisasi cabang olahraga harus belajar
banyak dari bulutangkis. Bulutangkis mampu bersaing di tingkat dunia karena
cabang olahraga ini melakukan pusat pelatihan sepanjang waktu, ada atau tidak adanya
pertandingan internasional. Kita tidak memungkiri, tidak bisa menyamakan
bulutangkis dengan, katakanlah, angkat besi atau anggar.
Ada banyak turnamen bulutangkis sepanjang tahun.
Sehingga pebulutangkis tidak jenuh karena hari-harinya hanya diisi latihan.
Namun bukan berarti tidak ada turnamen internasional pada cabang olahraga
lainnya. Pasti ada, walau tidak sebanyak di cabang bulutangkis.
Melakukan pusat pelatihan seperti bulutangkis memang
membutuhkan biaya tidak sedikit. Bekerjasama dengan berbagai pihak adalah cara
terbaik untuk meringankan biaya operasional.
Seperti bulutangkis bekerjasama dengan produk perlengkapan
bulutangkis. Sehingga biaya operasional
tidak seutuhnya ditanggung negara.
Kembali lagi ke awal, tidak mudah memulainya. Butuh kerja keras meyakinkan
berbagai pihak bila kerja sama itu akan saling menguntungkan. Tetapi, bukankah
pengurus cabang olahraga dipilih, atau diberi kepercayaan memegang jabatan itu,
memang untuk bekerja?
Penutup
Euforia keberhasilan Tontowi Ahmad/Lilyana Nastir
meraih medali emas Ganda Campuran Olimpiade Rio 2016 belum surut. Momentum ini
harus dimanfaatkan oleh kemenpora, atau lebih sempit lagi, oleh induk
organisasi cabang olahraga di Indonesia, untuk memancing minat masyarakat
Indonesia menggeluti salah satu cabang olahraga.
Olahraga sedang bergairah dan naik gengsi. Semoga
bukan semata memancing minat masyarakat, namun juga memancing minat berbagai
industri untuk terlibat di dalamnya. Kerjasama yang baik tentu akan lebih
menghasilkan sesuatu yang lebih baik pula.
Kiranya, seluruh daerah di Indonesia juga lebih
konsentrasi dan giat membina atlet muda pontensial di daerahnya
masing-masing. Alih-alih malah
menyerobot atlet yang sudah jadi dari daerah lain. Dengan demikian Indonesia
tidak akan pernah kehabisan bibit unggul untuk dibina.
***
*Dimuat di Rubrik Opini Harian Analisa Medan, 27 Agustus 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar