Minggu, 04 September 2016

Menyongsong Asian Games

Menyongsong Asian Games


Api Olimpiade Rio 2016 sudah padam. Atlet Indonesia membawa pulang satu medali emas dan dua perak. Hasil ini menempatkan Indonesia di urutan ke-46  dari total 206 negara yang ambil bagian di Olimpiade Rio 2016.  Sementara sekawasan Asia Tenggara, Indonesia di urutan kedua. Di bawah Thailand yang mengoleksi masing-masing dua emas, perak dan perunggu.

Berdasarkan target, hasil satu emas dan dua perak terbilang mengecewakan. Karena atlet Indonesia berangkat ke Rio de Janeiro dengan mengusung target tiga medali emas. Kekecewaan itu semakin tebal sebab ketiga medali yang dibawa pulang tersebut masih saja dari bulutangkis dan angkat besi. Artinya, tidak ada cabang olahraga baru yang berhasil menyumbang medali selama kesertaan Indonesia dalam olimpiade. Sejauh ini, hanya panahan, bulutangkis dan angkat besi sebagai penyumbang medali Indonesia selama olimpiade. Semakin was-was lagi, tiga dari  empat atlet perebut medali, sudah terbilang senior. Bahkan ada yang sudah berada di penghujung karier sebagai atlet.

Olimpiade Rio 2016 telah berakhir. Segala kegagalan tidak perlu lagi disesali. Semua kebahagiaan selayaknya disimpan kembali. Waktunya sekarang berbenah dan mempersiapkan diri untuk pertempuran empat tahun mendatang. Di Tokyo Jepang dalam Olimpiade 2020.

Ada jarak empat tahun. Tahun-tahun ini akan terasa panjang jika berada dalam pikiran. Namun terasa singkat untuk menghadirkan seorang juara. Sebab sang juara tidak lahir begitu saja. Sebelumnya ia harus dipilih, dibina, dibentuk, kemudian diterjunkan ke medan pertempuran.

Sebelum pandangan kita arahkan pada olimpiade 2020. Mari pandangan kita lempar lebih dekat lagi. Ada Asian Games 2018 dan Sea Games 2017. Bukan mengecilkan Sea Games 2017 bila perhatian kita pusatkan pada Asian Games 2018. Sebab di ajang sekawasan Asia itu Indonesia menjadi tuan rumah. Selain sukses sebagai penyelenggara, masyarat tentu berharap Indonesia juga sekaligus sukses prestasi. Kita ingin atlet Indonesia mampu bersaing dengan atlet negara-negara lainnya kemudian menaikkan bendera merah putih di puncak tiang tertinggi. Akan menyedihkan atlet-atlet Indonesia hanya menjadi penonton di laga-laga akhir.

Flashback di Asian Games 2014 di Incheon, Korea. Indonesia berada di urutan ke-17 setelah berhasil mengumpulkan 4 emas,  5 perak serta 11 perunggu. Jumlah ini sangat sedikit dibandingkan medali yang direbut Tiongkok sebagai pemegang rekor peraih medali terbanyak Asian Games Incheon 2014. Sebagain tuan rumah Asian Games 2018, kita tentu berharap medali jauh lebih banyak dari hasil Asian Games 2014.

Untuk merealisasikannya memang tidak mudah. Itu akan tercapai dengan kerja keras. Tidak cukup dengan duduk berpangku tangan kemudian merapal doa-doa selama pertandingan.  
Kerja Keras Dimulai

Selepas Olimpiade Rio 2016, masyarakat awam barangkali tidak begitu tahu, September 2016 akan berlangsung PON XIX/2016 Jawa Barat.  Di sinilah pekerjaan dimulai. Tim-tim pemantau bakat harus jeli mencari atlet ke lapangan. Bukan sekadar melihat siapa peraih medalinya. Karena bisa saja atlet muda yang sebenarnya sangat berbakat dan berpotensi luar biasa, tersingkir di babak awal pertandingan.

Setelah PON usai, atlet-atlet pilihan ini dikumpulkan di pusat pelatihan. Dalam jangka satu tahun, mereka diterjunkan di Sea Games 2017 di Kuala Lumpur  dan diharapkan bersinar setahun kemudian, di Asian Games 2018.

Induk organisasi cabang olahraga harus belajar banyak dari bulutangkis. Bulutangkis mampu bersaing di tingkat dunia karena cabang olahraga ini melakukan pusat pelatihan  sepanjang waktu, ada atau tidak adanya pertandingan internasional. Kita tidak memungkiri, tidak bisa menyamakan bulutangkis dengan, katakanlah, angkat besi atau anggar.

Ada banyak turnamen bulutangkis sepanjang tahun. Sehingga pebulutangkis tidak jenuh karena hari-harinya hanya diisi latihan. Namun bukan berarti tidak ada turnamen internasional pada cabang olahraga lainnya. Pasti ada, walau tidak sebanyak di cabang bulutangkis.

Melakukan pusat pelatihan seperti bulutangkis memang membutuhkan biaya tidak sedikit. Bekerjasama dengan berbagai pihak adalah cara terbaik untuk meringankan biaya operasional.  Seperti bulutangkis bekerjasama dengan produk perlengkapan bulutangkis.  Sehingga biaya operasional tidak seutuhnya ditanggung negara.

Kembali lagi ke awal, tidak mudah  memulainya. Butuh kerja keras meyakinkan berbagai pihak bila kerja sama itu akan saling menguntungkan. Tetapi, bukankah pengurus cabang olahraga dipilih, atau diberi kepercayaan memegang jabatan itu, memang untuk bekerja?

Penutup
Euforia keberhasilan Tontowi Ahmad/Lilyana Nastir meraih medali emas Ganda Campuran Olimpiade Rio 2016 belum surut. Momentum ini harus dimanfaatkan oleh kemenpora, atau lebih sempit lagi, oleh induk organisasi cabang olahraga di Indonesia, untuk memancing minat masyarakat Indonesia menggeluti salah satu cabang olahraga.

Olahraga sedang bergairah dan naik gengsi. Semoga bukan semata memancing minat masyarakat, namun juga memancing minat berbagai industri untuk terlibat di dalamnya. Kerjasama yang baik tentu akan lebih menghasilkan sesuatu yang lebih baik pula.

Kiranya, seluruh daerah di Indonesia juga lebih konsentrasi dan giat membina atlet muda pontensial di daerahnya masing-masing.  Alih-alih malah menyerobot atlet yang sudah jadi dari daerah lain. Dengan demikian Indonesia tidak akan pernah kehabisan bibit unggul untuk dibina.
***
*Dimuat di Rubrik Opini Harian Analisa Medan, 27 Agustus 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar