Minggu, 04 September 2016

Samosir sebagai Monaco of Asia (?)




Samosir Sebagai Monaco of Asia (?)

 “Pemkab Samosir paling siap di antara kabupaten lain yang berada di kawasan Danau Toba, dalam menyongsong program pemerintah yang akan menjadikan Danau Toba sebagai “Monaco of Asia” Indonesia.” Inilah kalimat pembuka dari berita berjudul Samosir Siap Songsong “Monaco of Asia”, terbit di halaman 11, Harian Analisa, Selasa 2 Agustus 2016. Statment tersebut milik Bupati Samosir, Rapidin Simbolon.

Hebat, begitu pikir saya.  Saya bayangkan, Sang Bupati beserta segenap jajarannya telah berbuat sesuatu atau  memiliki program kerja yang sangat aduhai. Membaca berita hingga tuntas, perasaan saya menjadi datar. Bayangan  yang begitu indah pupus sekejab mata. Saya kecewa.  Ada sederet program kerja (yang sudah dilakukan maupun hendak dilakukan), Sang Bupati tidak menyinggung pembenahan kondisi Danau Toba saat ini.
Beliau mungkin lupa, daya tarik utama Samosir adalah Danau Toba.  Bila dianalogikan pada kebutuhan hidup, Danau Toba menjadi kebutuhan primer dan Samosir adalah kebutuhan sekunder. Manusia pasti mengutamakan kebutuhan primer daripada sekunder. Semestinya kita pun berpikir demikian menyangkut Danau Toba.

Di antara kekecewaan, saya berusaha berbaik sangka. Mungkin pembersihan (terutama air Danau Toba) bukanlah masalah besar bagi Sang Bupati. Sehingga tidak perlu dimasukkan sebagai program kerja. Sehari dua hari saja beres semuanya.

Namun, bila ternyata Sang Bupati berpikir  pemulihan kondisi Danau Toba bukan hal penting untuk ‘memonacokan’ Danau Toba. Alangkah salahnya pemikiran itu. Para pakar berkata, kerambah jaring apung menjadi kontributor paling besar dalam merusak kualitas air Danau Toba. Perusahaan asing yang ‘menanam’ ikan di Danau Toba memang tidak di perairan wilayah Samosir. Tetap saja, ketujuh kepala daerah yang mengepung Danau Toba harus duduk bersama kemudian memutuskan cara meningkatkan kualitas air Danau Toba.  Bukan hanya kepala daerah, sesungguhnya Danau Toba menjadi tanggung jawab semua pihak. Baik rakyat dan pengusaha setempat, pejabat daerah, bahkan juga pusat.

Monaco dan Samosir
Ketika wacana hendak menjadikan Danau Toba sebagai Monaco-nya Asia, yang timbul di pikiran saya adalah: Samosir akan menjadi pusat judi. (Ingat, hanya Samosir. Tidak terpikirkan saya kabupaten lainnya). Saya yakin tidak sendiri berpikir seperti itu karena Monaco identik dengan kasinonya.

Karena kiblat pemerintah adalah Monaco, saya jadi ingin tau sedikit mengenai Monaco. Google menjadi media paling tepat untuk itu. Ternyata, Monaco hanya memiliki luas 70 hektar sehingga ia menjadi negara kedua terkecil di dunia.  Tiga sisi berbatasan dengan Perancis dan satu sisi berhadapan dengan Laut Tengah. Warga negara Monaco sekitar 5.000 jiwa ditambah penduduk musiman sekitar 25.000 jiwa. Penduduk musiman itu merupakan orang-orang kaya dari penjuru dunia.  

Sektor Pariwisata menjadi pendapatan utama Monaco. Mereka menjual pemandangan Laut Tengah yang indah serta iklimnya yang hangat. Pangeran Albert Grimaldi sebagai kepala negara berkata,  semua kegiatan dan segala sektor harus menghasilkan.  Berbagai kegiatan yang tersusun rapi berlangsung sepanjang tahun.  Seperti balap mobil Formula 1, pertandingan tenis tinggat dunia, lomba kapal pesiar dan sederet kegiatan lainnya. Singkatnya, Monaco adalah sorga bagi pelancong berkantong tebal sekaligus rumah bagi orang-orang berduit yang hendak menghindari pajak di negara asalnya.

Setelah sedikit mengenal Monaco, barangkali wacana menjadikan Danau Toba sebagai Monaco of Asia bisa  ‘dipersempit’ menjadi Samosir sebagai Monaco of Asia. Monaca adalah sebuah daratan. Sehingga lebih pas disandingkan dengan Samosir yang juga daratan. Bila Monaco menjual pemandangan Laut Tengah, maka Samosir menjual pemandangan Danau Toba dari segala sisi. Seperti Monaco yang memiliki kegiatan rutin sepanjang tahun, Samosir pun demikian. Event-event di Samosir harus ditambah, penuh perencanaan matang hingga tidak asal jadi.  Event ini bisa berbalut budaya Batak, sebagian juga modern.

Berhubung jualan utama tetaplah Danau Toba, maka sangat penting menjaga, memelihara kebersihan Danau Toba.  Kwalitas air harus ditingkatkan. Sekarang, semakin banyak wisatawan mengeluh badannya gatal-gatal setelah mandi di Danau Toba. Air Danau Toba telah tercemar sisa limbah pakan ikan. Perharinya sekitar 250 ton pakan (pelet) masuk ke dalam Danau Toba. Diperkirakan sekitar 20 persen menjadi residu karena tidak termakan ikan. Residu ini menumpuk di dasar danau. Sangat mengerikan ketika sebuah penelitian menyebut, ketebalan sisa pakan ikan di dasar Danau Toba sudah mencapai satu meter.

Ketebalan itu  pasti meningkat bila kerambah jaring apung tetap subur di Danau Toba. Hanya menunggu waktu, Danau Toba tidak lebih seperti comberan. Saat masa itu tiba, semenarik apapun event di Samosir, sudikah wisatawan berkunjung? Sungguh geli membayangkan wisatawan di Tuk-tuk duduk santai di sebuah kafe atau di beranda hotel tempatnya menginap, sementara bentangan air Danau Toba tak lebih baik dari comberan di belakang rumah mereka. Istilah saya memang terdengar kasar, tetapi itulah yang akan terjadi bila pencemaran air Danau Toba terus dibiarkan.

Berhubung Danau Toba dikitari tujuh kabupaten kota. Ketujuh daerah ini memang harus bersinergi, bahu membahu memelihara Danau Toba.  Bisa dijalin kerja sama  antara ketujuhnya hingga sama-sama memperoleh devisa dari pariwisata Danau Toba. Sehingga di saat  Samosir telah benar-benar menjadi Monaconya Asia, enam daerah lainnya tidak tertinggal serta turut menikmati hasilnya.

Situs Wisata Kurang Terawat
Pernyataan Bupati Samosir, bila Pemkab Samosir yang paling siap di antara kabupaten lain dalam menyongsong program Danau Toba sebagai Monaco of Asia, pada akhirnya kita anggap menjadi hal yang seharusnya. Mengingat wilayah Kabupaten Samosir memang paling banyak bersinggungan dengan Danau Toba. Saya tidak bisa sebut paling banyak mendapat kunjungan wisatawan karena tidak ada data yang menyebutkan.  Tetapi tidak dapat kita mungkiri, saat menyebut Danau Toba kebanyakan orang pasti teringat dengan Samosir,  atau Tuk-tuk dan Tomok (Tuk-tuk dan Tomok berada di Samosir) dan Parapat.

Pemkab Samosir begitu semangat menyusun program kerja demi menyongsong Danau Toba sebagai Monaconya Asia, mohon jangan dilupakan aset yang dimiliki sekarang. Sebagai contoh sederhana, Museum Huta Bolon Simanindo. Sejak 1969 rumah adat warisan Raja Sidauruk ini dijadikan museum terbuka. Museum Huta Bolon dibuka setiap hari. Ada pertunjukan tor-tor dua kali sehari di sana.

Pertunjukan itu sangat sederhana dan seadanya. Turis mancanegara yang menyaksikan pertunjukan hanya dipandu secarik kertas yang dibagikan saat pembelian tiket.  Sebagian dari mereka seperti jenuh melihat pertunjukan itu.

Sebuah Rumah Bolon yang sejatinya sebagai wadah  memajang barang-barang kuno dan antik yang bersejarah justru lebih menyerupai gudang daripada museum.  Benda-benda yang dipajang tidak terurus hingga diselimuti debu. Lemari kaca ditumbuhi, seperti, sarang laba-laba. Uang kertas kuno yang dipajang dalam lemari kaca berserakan tidak beraturan.

Menyedihkan melihat beberapa turis bersama pemandunya sebentar saja berada di dalam museum. Sebagian hanya melongok dari mulut pintu. Mereka justru lebih tertarik melihat makam yang letaknya berhadapan dengan Rumah Bolon penyimpan benda-benda bersejarah. Saya sebut lebih tertarik karena setidaknya sebagian turis memotret atau  berfoto di depan makam itu.

Seunik, seindah dan semenarik apapun situs wisata akan berkurang nilainya manakala ia tidak dipelihara. Apalagi bila sampai situs itu kotor dan terlantar. Bila Samosir berniat pariwisata menjadi sektor andalan pendapatan. Tidak bisa ditawar, selain infrastruktur, kebersihan dan pelayanan merupakan modal utama.

Masih menurut Bupati Samosir, Pemkab Samosir sudah memiliki kelompok sadar wisata. Kelompok ini akan membantu mensosialisasikan di bidang pelayanan. Semoga saja menjaga kebersihan dan merawat aset wisata telah termasuk ke dalam bidang pelayanan itu. Saya tidak tahu, apakah sekarang ini pihak pemkab Samosir menjalin komunikasi dengan para pemandu wisata di Samosir. Bila belum, tidak salah komunikasi itu dijalin. Sehingga pemkab Samosir mengetahui apa keluhan para wisatawan, apa yang mereka suka dan tidak suka di Samosir.
Akhirnya, tulisan ini semata pandangan saya sebagai wisatawan yang bisa saja lucu bagi beberapa pihak. Simpan bila cocok, buang bila tidak.
***
Penulis alumnus ITM Medan. Sering berkunjung ke Samosir

Dimuat di Rubrik Opini Harian Analisa, 27 Agustus 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar