Samosir Sebagai
Monaco of Asia (?)
“Pemkab
Samosir paling siap di antara kabupaten lain yang berada di kawasan Danau Toba,
dalam menyongsong program pemerintah yang akan menjadikan Danau Toba sebagai
“Monaco of Asia” Indonesia.” Inilah kalimat pembuka dari berita berjudul
Samosir Siap Songsong “Monaco of Asia”, terbit di halaman 11, Harian Analisa,
Selasa 2 Agustus 2016. Statment tersebut milik Bupati Samosir, Rapidin
Simbolon.
Hebat, begitu pikir saya. Saya bayangkan, Sang Bupati beserta segenap
jajarannya telah berbuat sesuatu atau
memiliki program kerja yang sangat aduhai. Membaca berita hingga tuntas,
perasaan saya menjadi datar. Bayangan yang begitu indah pupus sekejab mata. Saya
kecewa. Ada sederet program kerja (yang
sudah dilakukan maupun hendak dilakukan), Sang Bupati tidak menyinggung
pembenahan kondisi Danau Toba saat ini.
Beliau mungkin lupa, daya tarik utama Samosir adalah
Danau Toba. Bila dianalogikan pada
kebutuhan hidup, Danau Toba menjadi kebutuhan primer dan Samosir adalah
kebutuhan sekunder. Manusia pasti mengutamakan kebutuhan primer daripada
sekunder. Semestinya kita pun berpikir demikian menyangkut Danau Toba.
Di antara kekecewaan, saya berusaha berbaik sangka.
Mungkin pembersihan (terutama air Danau Toba) bukanlah masalah besar bagi Sang
Bupati. Sehingga tidak perlu dimasukkan sebagai program kerja. Sehari dua hari
saja beres semuanya.
Namun, bila ternyata Sang Bupati berpikir pemulihan kondisi Danau Toba bukan hal penting
untuk ‘memonacokan’ Danau Toba. Alangkah salahnya pemikiran itu. Para pakar
berkata, kerambah jaring apung menjadi kontributor paling besar dalam merusak
kualitas air Danau Toba. Perusahaan asing yang ‘menanam’ ikan di Danau Toba
memang tidak di perairan wilayah Samosir. Tetap saja, ketujuh kepala daerah
yang mengepung Danau Toba harus duduk bersama kemudian memutuskan cara meningkatkan
kualitas air Danau Toba. Bukan hanya
kepala daerah, sesungguhnya Danau Toba menjadi tanggung jawab semua pihak. Baik
rakyat dan pengusaha setempat, pejabat daerah, bahkan juga pusat.
Monaco dan Samosir
Ketika wacana hendak menjadikan Danau Toba sebagai
Monaco-nya Asia, yang timbul di pikiran saya adalah: Samosir akan menjadi pusat
judi. (Ingat, hanya Samosir. Tidak terpikirkan saya kabupaten lainnya). Saya
yakin tidak sendiri berpikir seperti itu karena Monaco identik dengan kasinonya.
Karena kiblat pemerintah adalah Monaco, saya jadi
ingin tau sedikit mengenai Monaco. Google menjadi media paling tepat untuk itu.
Ternyata, Monaco hanya memiliki luas 70 hektar sehingga ia menjadi negara kedua
terkecil di dunia. Tiga sisi berbatasan
dengan Perancis dan satu sisi berhadapan dengan Laut Tengah. Warga negara
Monaco sekitar 5.000 jiwa ditambah penduduk musiman sekitar 25.000 jiwa.
Penduduk musiman itu merupakan orang-orang kaya dari penjuru dunia.
Sektor Pariwisata menjadi pendapatan utama Monaco. Mereka
menjual pemandangan Laut Tengah yang indah serta iklimnya yang hangat. Pangeran
Albert Grimaldi sebagai kepala negara berkata,
semua kegiatan dan segala sektor harus menghasilkan. Berbagai kegiatan yang tersusun rapi
berlangsung sepanjang tahun. Seperti
balap mobil Formula 1, pertandingan tenis tinggat dunia, lomba kapal pesiar dan
sederet kegiatan lainnya. Singkatnya, Monaco adalah sorga bagi pelancong
berkantong tebal sekaligus rumah bagi orang-orang berduit yang hendak
menghindari pajak di negara asalnya.
Setelah sedikit mengenal Monaco, barangkali wacana
menjadikan Danau Toba sebagai Monaco of Asia bisa ‘dipersempit’ menjadi Samosir sebagai Monaco
of Asia. Monaca adalah sebuah daratan. Sehingga lebih pas disandingkan dengan
Samosir yang juga daratan. Bila Monaco menjual pemandangan Laut Tengah, maka
Samosir menjual pemandangan Danau Toba dari segala sisi. Seperti Monaco yang
memiliki kegiatan rutin sepanjang tahun, Samosir pun demikian. Event-event di
Samosir harus ditambah, penuh perencanaan matang hingga tidak asal jadi. Event ini bisa berbalut budaya Batak, sebagian
juga modern.
Berhubung jualan utama tetaplah Danau Toba, maka
sangat penting menjaga, memelihara kebersihan Danau Toba. Kwalitas air harus ditingkatkan. Sekarang, semakin
banyak wisatawan mengeluh badannya gatal-gatal setelah mandi di Danau Toba. Air
Danau Toba telah tercemar sisa limbah pakan ikan. Perharinya sekitar 250 ton
pakan (pelet) masuk ke dalam Danau Toba. Diperkirakan sekitar 20 persen menjadi
residu karena tidak termakan ikan. Residu ini menumpuk di dasar danau. Sangat
mengerikan ketika sebuah penelitian menyebut, ketebalan sisa pakan ikan di
dasar Danau Toba sudah mencapai satu meter.
Ketebalan itu
pasti meningkat bila kerambah jaring apung tetap subur di Danau Toba.
Hanya menunggu waktu, Danau Toba tidak lebih seperti comberan. Saat masa itu
tiba, semenarik apapun event di Samosir, sudikah wisatawan berkunjung? Sungguh
geli membayangkan wisatawan di Tuk-tuk duduk santai di sebuah kafe atau di
beranda hotel tempatnya menginap, sementara bentangan air Danau Toba tak lebih
baik dari comberan di belakang rumah mereka. Istilah saya memang terdengar
kasar, tetapi itulah yang akan terjadi bila pencemaran air Danau Toba terus
dibiarkan.
Berhubung Danau Toba dikitari tujuh kabupaten kota.
Ketujuh daerah ini memang harus bersinergi, bahu membahu memelihara Danau
Toba. Bisa dijalin kerja sama antara ketujuhnya hingga sama-sama memperoleh
devisa dari pariwisata Danau Toba. Sehingga di saat Samosir telah benar-benar menjadi Monaconya
Asia, enam daerah lainnya tidak tertinggal serta turut menikmati hasilnya.
Situs Wisata Kurang Terawat
Pernyataan Bupati Samosir, bila Pemkab Samosir yang
paling siap di antara kabupaten lain dalam menyongsong program Danau Toba
sebagai Monaco of Asia, pada akhirnya kita anggap menjadi hal yang seharusnya.
Mengingat wilayah Kabupaten Samosir memang paling banyak bersinggungan dengan
Danau Toba. Saya tidak bisa sebut paling banyak mendapat kunjungan wisatawan
karena tidak ada data yang menyebutkan.
Tetapi tidak dapat kita mungkiri, saat menyebut Danau Toba kebanyakan
orang pasti teringat dengan Samosir, atau Tuk-tuk dan Tomok (Tuk-tuk dan Tomok
berada di Samosir) dan Parapat.
Pemkab Samosir begitu semangat menyusun program
kerja demi menyongsong Danau Toba sebagai Monaconya Asia, mohon jangan
dilupakan aset yang dimiliki sekarang. Sebagai contoh sederhana, Museum Huta
Bolon Simanindo. Sejak 1969 rumah adat warisan Raja Sidauruk ini dijadikan
museum terbuka. Museum Huta Bolon dibuka setiap hari. Ada pertunjukan tor-tor
dua kali sehari di sana.
Pertunjukan itu sangat sederhana dan seadanya. Turis
mancanegara yang menyaksikan pertunjukan hanya dipandu secarik kertas yang
dibagikan saat pembelian tiket. Sebagian
dari mereka seperti jenuh melihat pertunjukan itu.
Sebuah Rumah Bolon yang sejatinya sebagai wadah memajang barang-barang kuno dan antik yang
bersejarah justru lebih menyerupai gudang daripada museum. Benda-benda yang dipajang tidak terurus
hingga diselimuti debu. Lemari kaca ditumbuhi, seperti, sarang laba-laba. Uang
kertas kuno yang dipajang dalam lemari kaca berserakan tidak beraturan.
Menyedihkan melihat beberapa turis bersama pemandunya
sebentar saja berada di dalam museum. Sebagian hanya melongok dari mulut pintu.
Mereka justru lebih tertarik melihat makam yang letaknya berhadapan dengan
Rumah Bolon penyimpan benda-benda bersejarah. Saya sebut lebih tertarik karena
setidaknya sebagian turis memotret atau
berfoto di depan makam itu.
Seunik, seindah dan semenarik apapun situs wisata akan
berkurang nilainya manakala ia tidak dipelihara. Apalagi bila sampai situs itu
kotor dan terlantar. Bila Samosir berniat pariwisata menjadi sektor andalan
pendapatan. Tidak bisa ditawar, selain infrastruktur, kebersihan dan pelayanan
merupakan modal utama.
Masih menurut Bupati Samosir, Pemkab Samosir sudah
memiliki kelompok sadar wisata. Kelompok ini akan membantu mensosialisasikan di
bidang pelayanan. Semoga saja menjaga kebersihan dan merawat aset wisata telah
termasuk ke dalam bidang pelayanan itu. Saya tidak tahu, apakah sekarang ini
pihak pemkab Samosir menjalin komunikasi dengan para pemandu wisata di Samosir.
Bila belum, tidak salah komunikasi itu dijalin. Sehingga pemkab Samosir
mengetahui apa keluhan para wisatawan, apa yang mereka suka dan tidak suka di
Samosir.
Akhirnya, tulisan ini semata pandangan saya sebagai
wisatawan yang bisa saja lucu bagi beberapa pihak. Simpan bila cocok, buang
bila tidak.
***
Penulis
alumnus ITM Medan. Sering berkunjung ke Samosir
Dimuat di Rubrik Opini Harian Analisa, 27 Agustus 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar