--Langkah kecil Jati telah
tertinggal di belakang. Saya tidak ingin jejak langkahnya tersaput waktu, maka
saya simpan ia di sini. Di rumah sandi--
Jati setahun lalu |
Melihat Jati dan Jeta bermain,
kadang terlintas di benak, suatu hari nanti mereka akan pergi dari kehidupan
saya. Pasti saya sedih karena kehilangan. Sama seperti ketika saya harus
kehilangan kucing-kucing sebelumnya. Tapi tidak pernah saya duga, kepergiannya akan
disertai air mata, kesedihan dan penyesalan. Itulah yang terjadi ketika Jati
pergi.
Usia kucing jantan itu baru tiga
tahun, tubuhnya gemuk dan sehat. Ia lebih suka berada dalam rumah ketimbang
keliaran di luar. Saya berpikir usianya masih panjang, tetap bersama saya untuk
beberapa tahun ke depan.
Ternyata tidak. Jati harus
menyerah pada tanggal sepuluh bulan sepuluh tahun dua ribu enam belas, setelah
ia teramat menderita lebih dari empat hari. Saya gemas pada diri sendiri, tidak
menyadari sebenarnya telah terjadi perubahan pada Jati sejak sebulan lalu. Bulu
putih bercampur abu-abunya yang biasanya bersih dan sehat, berubah kusam dan
kotor. Tubuhnya pun tidak lagi semontok biasanya. Selera makannya berkurang.
Biasanya Jati sanggup menghabiskan sisa makanan Jeta. Tapi sejak itu, justru
Jeta yang menghabiskan makannya.
Jati sering tidur seperti ini bila lelah bermain di luar rumah |
Bahkan pernah dua kali saya lihat
Jati muntah-muntah. Entah kenapa, saya tidak berpikir ada yang salah dengan
dirinya. Mungkin karena saya lihat Jati tetap beraktivitas seperti biasa.
Sesekali pergi ke luar rumah, pulang, minta makanan (hanya sedikit yang
dimakan), tiduran, ke luar lagi.
Sekitar dua minggu lalu, Jeta
tidak pulang ke rumah selama empat hari. Di situ Jati lebih sering bergelung di
rumah, napsu makan semakin berkurang, bulunya semakin dekil (sempat saya
mandikan sekali). Bodohnya saya, masih tidak berpikir apapun tentang perubahan
itu. Saya mengira kelesuan Jati bersebab tidak adanya Jeta di rumah. Ini kali kedua Jeta tidak pulang ke rumah
dalam beberapa hari. Dulu pun Jati lesu karena merasa kehilangan Jeta.
Memang saya agak kaget dengan
reaksi Jati saat akhirnya Jeta pulang. Ia diam saja, tidak seperti setahun lalu
ketika saya menemukan Jeta berada di tumpukan balok-balok kayu tetangga. Waktu
itu Jati mencium wajah Jeta, mengendus tubuh dan mengeong ribut.
Tetap tidak terpikir oleh saya,
ada yang salah dengan tubuh Jati.
Sekitar Juni atau Juli 2015. Jati sedang demam, sementara ada acara di rumah. Jati tiduran di samping pintu dapur. |
Karena banyak orang melintas, Jati tidak nyaman di sofa (gambar di atas). Ia pindah ke lemari ini. Saya yang menyingkirkan sebuntel kain seperti yang terlihat pada gambar di atas. |
Saya sibuk dengan urusan saya
sendiri. Bila biasanya saya ke Medan setiap Senin dan Kamis, saya harus ke
Medan setiap hari. Pergi pagi pulang menjelang malam. Bobot tubuh Jati semakin
turun. Bulunya semakin kotor. Karena kesibukan, saya tidak sempat
memandikannya. Dalam hati saya berjanji, akan memandikannya besok, besok, dan
besok. Tapi akhirnya tidak pernah saya lakukan. Selera makan Jati semakin
turun. Lebih sering ia hanya menggigit sedikit makanannya. Pernah suatu malam
saya membawa ayam goreng kesukaannya. Jati hanya menggigit sedikit, kemudian
melepehkannya.
Rumah kami yang sepi ramai oleh
kunjungan abang dan kakak. Jati lebih sering keluar rumah, demikian juga saya.
Hingga suatu pagi saya melihat bagian belakang tubuh Jati menempel sisa
kotoran. Saya cari di google, apa yang terjadi padanya. Pada sebuah laman saya
menemukan cara menangani kucing yang kurus karena tidak selera makan. Di sana
disebut, memberinya kuning telur dan air kelapa muda selama delapan hari
berturut-turut. Kuning telur cukup satu sehari, sementara dosis air kelapa muda
tidak disebut. Rutin memberinya selama delapan hari, kucing akan kembali gemuk.
Begitu katanya. Selain itu, saya juga memberinya susu.
30 atau 31 Mei 2016. Jati dan Jeta pura-pura tidur di depan pintu saat saya hendak berangkat ke Bogor. |
Karena tidak ada perubahan, saya
membeli antibiotik di apotik. Saya biasa memberikan antibiotik itu ketika
kucing demam atau lesu. Kepada penjaga apotik saya tanyakan kira-kira obat apa
yang sesuai untuk Jati. Dia mengusulkan memberi obat cacing
karena pasti Jati cacingan dan sebaiknya tidak usah memberinya kuning telur dan
susu, karena itu justru menjadi makanan empuk para cacing di tubuh Jati.
Saya ikuti sarannya. Jati saya
kasih obat cacing dan antibiotik berselang-seling. Hari ini obat cacing, besok
antibiotik. Awal bulan Oktober, selera makan Jati meningkat dari biasanya.
Walau tidak banyak, dia memakan ikan yang saya berikan. Di situ saya berpikir
kondisinya sudah lebih baik. Di hari ini, Jeta sangat perhatian kepada Jati.
Jeta selalu menggigit leher belakang Jati bila Jati bermaksud keluar rumah.
Jeta menemani dan menjilati bulu Jati di dalam kardus yang saya sediakan.
Jeta menemani Jati yang sudah kritis |
Malamnya (saat itu gerimis) Jati
diare dan pup sembarangan berkali-kali di dalam rumah. Sepertinya ia tidak bisa
menahannya. Saya membuka pintu belakang.
Jati bergegas keluar, menerobos gerimis. Mungkin ia malu pup sembarangan. Tapi
saya menahannya kemudian menyiapkan kandangnya di luar rumah. Tidak mungkin
Jati saya tempatkan di dalam rumah. Saat itu rumah sedang penuh saudara, dan
hanya saya yang peduli dengan Jati. Sementara pupnya sangat menyengat.
Rupanya Jati kabur saat saya
menyiapkan kandangnya itu. Saya cari-cari di sekitar, tapi tidak ketemu. Malam
itu, seperti malam-malam sebelumnya di Binjai, hujan dan petir berpesta di
langit. Saya hanya bisa berharap Jati berteduh di tempat yang hangat dan
kering.
Bangun pagi. Saya membuka lemari
es di dapur. Jeta mengeong (makanan kucing saya simpan dalam lemari es) disusul
Jati keluar dari bawah meja makan. Saya girang melihatnya. Melihat belakang
tubuhnya kering, saya berpikir ia tidak diare lagi. Hanya itu yang saya
pikirkan. Saya tidak berpikir bisa saja Jati dehidrasi akibat diarenya. Saya
tidak memberinya minum. Ia tidak menyentuh makanan yang saya berikan.
Rabu pagi 5 Oktober 2016, seingat
saya, itulah hari terakhir Jati berjalan normal. Pagi itu saya hendak ke Medan.
Saya memakai sepatu di ruang tengah. Dengan tubuh kurus dan dekilnya, Jati
mendekati saya. Ia bergelung di kaki saya, meminta digaruk. Ini memang kebiasaan
Jati dan Jeta bila melihat saya memakai sepatu. Sebab terburu-buru, hanya
sebentar saya menggaruknya. Sore saya pulang, Jati tidak ada di rumah. Malam
itu hujan sangat deras. Saya berpikir, seperti kucing-kucing terdahulu, Jati
sengaja pergi dari rumah untuk menyambut takdirnya.
Sampai Kamis sore Jati tidak
pulang. Kian sempurna keyakinan saya Jati sudah pergi. Hampir malam, ketika Ibu
saya membawa Jati pulang. Ibu saya menemukannya di rimbunan bunga, sekitar
limapuluh meter di belakang rumah. Kondisinya memprihatikankan, Jati tidak lagi
mampu berdiri sempurna. Jalannya sempoyongan. Saya lupa apa yang saya berikan
padanya saat itu. Lagi-lagi malam itu hujan sangat deras, dan saya bersyukur
ibu saya menemukan Jati.
Jumat pagi saya menemukan pup
Jati di atas kain di kamar kosong. Saya memang lupa mengangkat wadah pupnya
dari ruangan lain. Kucing-kucing saya sudah terlatih untuk pup di dalam
wadahnya, atau di luar rumah. Jati pup sembarangan begitu, berarti ia tidak
lagi sanggup keluar rumah. (Bila pintu tertutup, Jati dan Jeta bisa keluar
masuk rumah melalui eternit).
Saya semakin khawatir dengan
keadaan Jati. Saya memberinya lagi kuning telur dan antibiotik. Ia lebih banyak
bergelung dalam kardus yang saya sediakan. Setiap pup atau pipis, susah payah
ia keluar dari kardus. Ia tertatih masuk ke kamar bila pintu sedang terbuka.
Sebentar saya biarkan ia tidur di kamar, kemudian saya angkat lagi ke
tempatnya. Jeta setia menemani dalam kardus. Menjilati tubuh Jati atau hanya
tidur saling menempel. Sesekali Jeta keluar dari kardus, pergi ke luar rumah,
dan ia selalu ribut setiap Jati keluar dari kardus.
Melalui seorang teman di
facebook, sekitar jam dua siang saya mendatangi satu-satunya praktek dokter
hewan di Binjai. Jati tidak saya bawa, karena saya pikir sebaiknya konsultasi
terlebih dulu. Saya akan bawa Jati bila sang dokter meminta. Sudah saya buang
segala gengsi dengan keadaan Jati yang kurus, kucel dan bau. Yang penting Jati
selamat, itu yang ada di kepala saya.
Sedikit mencari-cari, ketemu juga
dengan tempat yang direkomendasikan teman di facebook. Walau tiang prakteknya masih ada (bingung apa
namanya), tempat itu sudah beralih fungsi menjadi usaha foto kopi. Menurut
pengusaha foto kopi itu, mereka sudah lama berada di situ dan mereka tidak tahu
ke mana sang dokter hewan pindah.
Saya mendatangi khusus penjual
makanan kucing dan anjing. Mungkin dia tahu obat apa yang seharusnya saya
berikan pada Jati. Sayangnya sang penjual selalu menjawab ‘nggak tau’ untuk apa
pun yang saya tanyakan. Jalan terakhir adalah apotik. Dengan sok pintarnya saya
minta obat untuk dehidrasi. Dikasih cairan dalam botol kecil. Saya beli dua,
ditambah madu.
Dalam perjalanan pulang saya
menimbang, apa sebaiknya Jati saya bawa ke Medan? Di Medan tentu ada beberapa
praktek dokter hewan. Niat itu patah akhirnya. Hanya saya yang menginginkan
Jati selamat. Saya tidak siap ditertawakan oleh siapa pun. Saya tidak mau orang
mendengar sampai segitunya saya demi kucing sekarat.
Saya beri Jati cairan itu sekitar
5-7 jarum suntikan kecil. Dengan jadwal sesuka saya. Saya beri juga madu
dicampur kuning telur. Setiap Jati menutup giginya rapat-rapat hingga mulutnya
tidak terbuka, saya selalu bilang: Jati, kau mau idup, nggak?
Dia mengerti atau hanya
kebetulan, setelah saya bilang begitu, mulutnya dengan mudah bisa terbuka
ketika disuapi. Setiap selesai saya berikan cairan itu, Jati menatap saya.
Matanya tidak seperti sedang sakit. Masih sama seperti biasanya. Saya sedih melihatnya. Saya
mengelus-ngelus kepalanya.
Sabtu pagi keadaan Jati tetap
sama. Malah saya lihat tubuhnya semakin kurus, hanya tinggal bulu dan kulit. Ia
masih dengan susah payah keluar dari kardus untuk pup atau pipis. Ia masih
berusaha masuk ke kamar bila daunya terbuka. Jeta masih setia menemaninya.
Minggu, 9 Oktober siang, Jeta menemani Jati, menjilati sekitar wajahnya. |
Entah dari mana saya berkeyakinan
penyebab keadaan Jati begitu karena dehidrasi. Jadi mulai pagi Sabtu itu, saya
memberinya cairan setiap jam, takaran 5 sampai 7 jarum suntikan. Sabtu malam
itu saya membawa Jati (diikuti Jeta) ke ruang nonton. Kardus Jati dan wadah
pupnya saya letak di sudut. Saya tidur di situ supaya bisa memberinya cairan
setiap jam. Saya teringat memberinya cairan jam dua pagi, lalu saya ketiduran.
Hingga saya terbangun, tapi malas
membuka mata. Saya tetap berbaring sebentar, saya mencium bau yang menyengat.
Saya berpikir pastilah itu aroma pup Jati. Saya melihat jam di layar ponsel,
jam empat lewat. Saya berbalik, ternyata Jati tidur di sebelah saya.
Tubuh Jati lebih hangat, tidak
sedingin biasanya. Bulunya pun sedikit lebih cerah. Sedikit keyakinan timbul
dalam hati, Jati akan kembali sehat. Saya beri lagi ia cairan. Tapi saya
ketiduran sampai jam sembilan pagi. Jati drop kembali.
Sekitar jam dua siang saya
berpikir, tidak mungkin Jati hanya saya beri cairan itu. Ia butuh makanan. Jadi
saya kasih susu dan kuning telur. Mulutnya mudah terbuka hanya untuk satu dua
jarum suntik. Lagi-lagi saya bilang: Jati, kalau mau idup, buka mulutnya!
Mulutnya mudah terbuka. Ia
menatap saya selepas saya beri makan. Saya mengelus-ngelus kepalanya dengan
dada sesak. Saya iba melihatnya. Merasa bersalah juga karena lalai mengobati
sakitnya.
Jam empat sore, Jati pup di dalam
kardus. Ia tidak sanggup lagi keluar
dari sana. Ketika saya angkat, pipisnya bercucuran. Sangat banyak. Di situ saya
sadar, usaha saya memberinya cairan hanya memperlambat ‘kepergian’nya. Bukan
mengobati sakitnya. Di mata saya, Jati sangat menderita dengan keadaannya.
Saya bersihkan pupnya,
mengeringkan bagian belakang tubuhnya dan mengganti kain lapis kardusnya. Saya
beri lagi cairan. Di situ saya memutuskan, itu terakhir kalinya saya beri ia
cairan. Biarlah Jati ‘pergi’. Jati berbaring lagi di kardusnya.
Saya mengelus kepala dan punggungnya. Ia menatap saya. Lalu saya bilang kalau
saya ikhlas Jati pergi.
Saya tutup kain tubuhnya sebatas
leher. Kardus saya tutup tidak sempurna, untuk sirkulasi udara kemudian saya
angkat ke sudut dapur.
Sudah saya putuskan tidak akan
melihatnya lagi. Mungkin sampai besok.
Jam tujuh malam, keputusan itu
saya langgar. Saya tidak tega. Saya melihatnya lagi. Leher Jati seperti
mendegut ludah karena haus. Saya beri lagi ia cairan itu. Ia mau minum namun
matanya tidak lagi terbuka. Alas tidurnya basah karena pipis dan juga pup, saya
lapisi dengan salah satu kemeja saya. Saya mengelus kepalanya sebelum
meninggalkannya. Lagi-lagi saya bertekad itu terakhir kali saya melihatnya dan
memberinya minum.
Jam sebelas lagi-lagi tekad itu
saya langgar. Saya melihat Jati lagi. Lehernya mendegut-degut, sesekali
mulutnya mencecap. Saya beri lagi cairan itu. Saya periksa alas tidurnya, masih
kering. Saya menimangnya dengan air mata bercucuran. Saya berbisik di telinga
Jati, mengucapkan terima kasih karena ia sudah menemani saya selama tiga tahun
ini. Saya meminta maaf karena tidak mampu menyelamatkannya, saya lalai dengan
kesehatannya. Dengan terisak saya bilang saya ikhlas ia pergi. Kelak lahirlah
kembali menjadi anak Jeta. Saya mencium wajahnya.
Saya menangis dengan Jati di
timangan saya. Air mata saya berjatuhan di wajahnya. Seolah Jati adalah bagian
dari keluarga saya, bukan hanya seekor kucing kampung.
Air mata saya semakin bercucuran
ketika Jati mendengus. Mungkin ia berusaha mengeong. Setau saya, ia tidak
pernah lagi bersuara beberapa hari itu. Tubuhnya yang kurus menggeliat dalam
timangan saya. Saat itu tahulah saya, Jati memaafkan saya.
Saya tidak bohong saat mengatakan
ikhlas Jati pergi. Saya sangat ikhlas, walau memang sedih. Saya tidak tega
melihat keadaannya. Bersama saya hidupnya tidak buruk, ia kucing yang manis.
Tapi kenapa di ujung hidupnya ia harus menderita?
Itulah hari terakhir saya melihat
Jati masih bernapas. Besok paginya sekitar jam delapan, tubuhnya sudah kaku dan
dingin. Saya perhatikan posisi tidurnya, bahkan letak kaki dan kepala, tidak
berubah saat seperti ia saya letak di kardusnya.
Mungkin Jati pergi tidak lama
setelah saya tinggalkan pada malam itu.
Pagi itu saya menangis lagi. Saya
ikhlas Jati pergi. Namun bila diberi pilihan, saya lebih memilih cara kepergian
Desi atau Jejer, mereka menghilang dari rumah saat keadaan sakit.
Belum jam sembilan Jati sudah
berada di rumah abadinya. Di belakang rumah kami.
Jati sudah pergi |
Lama Jeta menemani Jati yang sudah pergi |
Untuk mengurangi kesedihan, saya
menghibur diri, sekarang Jati berada di Titian Bianglala. Saya lupa pernah
membaca di mana, setiap hewan peliharaan yang telah pergi akan berada di Titian
Bianglala. Titiang Bianglala merupakan sebuah taman yang luas. Di sanalah hewan
peliharaan yang telah pergi berkumpul. Mereka bermain, bercanda, berlari, dan
bahagia selamanya. Hingga tiba pada satu masa, Jati berhenti bermain. Jati
menatap pada satu titik di kejauhan. Titik itu semakin besar, besar, besar dan
nyata.
Lalu Jati berlari, berlari
kencang, semakin kencang menuju titik yang semakin besar itu. Sosok itu adalah
saya. Setelah dekat, Jati melompat ke
pelukan saya. Jati menjilat wajah saya, menatap wajah saya sembari mengeong
ribut, seolah bertanya mengapa sangat lama saya datang.
Makam Jati bernisankan botol obatnya, hanya beberapa meter di belakang rumah. Jeta melihat di rimbunan semak. |
Dibikin cerpen aja, Bang.
BalasHapusRencananya gitu, Mas. Jadi cerita anak. :)
HapusSedihnya baca cerita Jati ini, Bang Sandi.
BalasHapusPasti Jati sudah senang di Titian Bianglala.
Semoga segera dapat pengganti Jati, Bang Sandi.
Terima kasih, Mas. Harapannya Jeta (saudari Jati) melahirkan dan anaknya mirip Jati. :)
HapusJati kini sudah pergi, bahagia bersama saudaranya di Titian Bianglala
BalasHapusTitian Bianglala? yah saya baru tahu di post ini, kalau ada tempat berkumpul para hewan yg sdh tdk du dunia ini mereka berada di tempat yg disebut dengan Titian Bianglala
terimaksih
salam
Mungkin hanya sekadar 'membahagiakan' para pemilik hewan kesayangan setelah ia pergi. Entahlah. :(
HapusTerima kasih sudah berkunjung.