Jumat, 14 Oktober 2016

J A T I, Langkah Kecil yang Usai

--Langkah kecil Jati telah tertinggal di belakang. Saya tidak ingin jejak langkahnya tersaput waktu, maka saya simpan ia di sini. Di rumah sandi--




Jati setahun lalu

Melihat Jati dan Jeta bermain, kadang terlintas di benak, suatu hari nanti mereka akan pergi dari kehidupan saya. Pasti saya sedih karena kehilangan. Sama seperti ketika saya harus kehilangan kucing-kucing sebelumnya. Tapi tidak pernah saya duga, kepergiannya akan disertai air mata, kesedihan dan penyesalan. Itulah yang terjadi ketika Jati pergi.

Usia kucing jantan itu baru tiga tahun, tubuhnya gemuk dan sehat. Ia lebih suka berada dalam rumah ketimbang keliaran di luar. Saya berpikir usianya masih panjang, tetap bersama saya untuk beberapa tahun ke depan.

Ternyata tidak. Jati harus menyerah pada tanggal sepuluh bulan sepuluh tahun dua ribu enam belas, setelah ia teramat menderita lebih dari empat hari. Saya gemas pada diri sendiri, tidak menyadari sebenarnya telah terjadi perubahan pada Jati sejak sebulan lalu. Bulu putih bercampur abu-abunya yang biasanya bersih dan sehat, berubah kusam dan kotor. Tubuhnya pun tidak lagi semontok biasanya. Selera makannya berkurang. Biasanya Jati sanggup menghabiskan sisa makanan Jeta. Tapi sejak itu, justru Jeta yang menghabiskan makannya.

Jati sering tidur seperti ini bila lelah bermain di luar rumah


Bahkan pernah dua kali saya lihat Jati muntah-muntah. Entah kenapa, saya tidak berpikir ada yang salah dengan dirinya. Mungkin karena saya lihat Jati tetap beraktivitas seperti biasa. Sesekali pergi ke luar rumah, pulang, minta makanan (hanya sedikit yang dimakan), tiduran, ke luar lagi.

Sekitar dua minggu lalu, Jeta tidak pulang ke rumah selama empat hari. Di situ Jati lebih sering bergelung di rumah, napsu makan semakin berkurang, bulunya semakin dekil (sempat saya mandikan sekali). Bodohnya saya, masih tidak berpikir apapun tentang perubahan itu. Saya mengira kelesuan Jati bersebab tidak adanya Jeta di rumah.  Ini kali kedua Jeta tidak pulang ke rumah dalam beberapa hari. Dulu pun Jati lesu karena merasa kehilangan Jeta.

Memang saya agak kaget dengan reaksi Jati saat akhirnya Jeta pulang. Ia diam saja, tidak seperti setahun lalu ketika saya menemukan Jeta berada di tumpukan balok-balok kayu tetangga. Waktu itu Jati mencium wajah Jeta, mengendus tubuh dan mengeong ribut.

Tetap tidak terpikir oleh saya, ada yang salah dengan tubuh Jati.

Sekitar Juni atau Juli 2015. Jati sedang demam, sementara ada acara di rumah. Jati tiduran di samping pintu dapur.


Karena banyak orang melintas, Jati tidak nyaman di sofa (gambar di atas). Ia pindah ke lemari ini. Saya yang menyingkirkan sebuntel kain seperti yang terlihat pada gambar di atas.

Saya sibuk dengan urusan saya sendiri. Bila biasanya saya ke Medan setiap Senin dan Kamis, saya harus ke Medan setiap hari. Pergi pagi pulang menjelang malam. Bobot tubuh Jati semakin turun. Bulunya semakin kotor. Karena kesibukan, saya tidak sempat memandikannya. Dalam hati saya berjanji, akan memandikannya besok, besok, dan besok. Tapi akhirnya tidak pernah saya lakukan. Selera makan Jati semakin turun. Lebih sering ia hanya menggigit sedikit makanannya. Pernah suatu malam saya membawa ayam goreng kesukaannya. Jati hanya menggigit sedikit, kemudian melepehkannya.

Rumah kami yang sepi ramai oleh kunjungan abang dan kakak. Jati lebih sering keluar rumah, demikian juga saya. Hingga suatu pagi saya melihat bagian belakang tubuh Jati menempel sisa kotoran. Saya cari di google, apa yang terjadi padanya. Pada sebuah laman saya menemukan cara menangani kucing yang kurus karena tidak selera makan. Di sana disebut, memberinya kuning telur dan air kelapa muda selama delapan hari berturut-turut. Kuning telur cukup satu sehari, sementara dosis air kelapa muda tidak disebut. Rutin memberinya selama delapan hari, kucing akan kembali gemuk. Begitu katanya. Selain itu, saya juga memberinya susu.


30 atau 31 Mei 2016. Jati dan Jeta pura-pura tidur di depan pintu saat saya hendak berangkat ke Bogor.

Karena tidak ada perubahan, saya membeli antibiotik di apotik. Saya biasa memberikan antibiotik itu ketika kucing demam atau lesu. Kepada penjaga apotik saya tanyakan kira-kira obat apa yang sesuai untuk Jati. Dia mengusulkan memberi obat cacing karena pasti Jati cacingan dan sebaiknya tidak usah memberinya kuning telur dan susu, karena itu justru menjadi makanan empuk para cacing di tubuh Jati.

Saya ikuti sarannya. Jati saya kasih obat cacing dan antibiotik berselang-seling. Hari ini obat cacing, besok antibiotik. Awal bulan Oktober, selera makan Jati meningkat dari biasanya. Walau tidak banyak, dia memakan ikan yang saya berikan. Di situ saya berpikir kondisinya sudah lebih baik. Di hari ini, Jeta sangat perhatian kepada Jati. Jeta selalu menggigit leher belakang Jati bila Jati bermaksud keluar rumah. Jeta menemani dan menjilati bulu Jati di dalam kardus yang saya sediakan.

Jeta menemani Jati yang sudah kritis


Malamnya (saat itu gerimis) Jati diare dan pup sembarangan berkali-kali di dalam rumah. Sepertinya ia tidak bisa menahannya.  Saya membuka pintu belakang. Jati bergegas keluar, menerobos gerimis. Mungkin ia malu pup sembarangan. Tapi saya menahannya kemudian menyiapkan kandangnya di luar rumah. Tidak mungkin Jati saya tempatkan di dalam rumah. Saat itu rumah sedang penuh saudara, dan hanya saya yang peduli dengan Jati. Sementara pupnya sangat menyengat.

Rupanya Jati kabur saat saya menyiapkan kandangnya itu. Saya cari-cari di sekitar, tapi tidak ketemu. Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya di Binjai, hujan dan petir berpesta di langit. Saya hanya bisa berharap Jati berteduh di tempat yang hangat dan kering.

Bangun pagi. Saya membuka lemari es di dapur. Jeta mengeong (makanan kucing saya simpan dalam lemari es) disusul Jati keluar dari bawah meja makan. Saya girang melihatnya. Melihat belakang tubuhnya kering, saya berpikir ia tidak diare lagi. Hanya itu yang saya pikirkan. Saya tidak berpikir bisa saja Jati dehidrasi akibat diarenya. Saya tidak memberinya minum. Ia tidak menyentuh makanan yang saya berikan.

Rabu pagi 5 Oktober 2016, seingat saya, itulah hari terakhir Jati berjalan normal. Pagi itu saya hendak ke Medan. Saya memakai sepatu di ruang tengah. Dengan tubuh kurus dan dekilnya, Jati mendekati saya. Ia bergelung di kaki saya, meminta digaruk. Ini memang kebiasaan Jati dan Jeta bila melihat saya memakai sepatu. Sebab terburu-buru, hanya sebentar saya menggaruknya. Sore saya pulang, Jati tidak ada di rumah. Malam itu hujan sangat deras. Saya berpikir, seperti kucing-kucing terdahulu, Jati sengaja pergi dari rumah untuk menyambut takdirnya.

Sampai Kamis sore Jati tidak pulang. Kian sempurna keyakinan saya Jati sudah pergi. Hampir malam, ketika Ibu saya membawa Jati pulang. Ibu saya menemukannya di rimbunan bunga, sekitar limapuluh meter di belakang rumah. Kondisinya memprihatikankan, Jati tidak lagi mampu berdiri sempurna. Jalannya sempoyongan. Saya lupa apa yang saya berikan padanya saat itu. Lagi-lagi malam itu hujan sangat deras, dan saya bersyukur ibu saya menemukan Jati.

Jumat pagi saya menemukan pup Jati di atas kain di kamar kosong. Saya memang lupa mengangkat wadah pupnya dari ruangan lain. Kucing-kucing saya sudah terlatih untuk pup di dalam wadahnya, atau di luar rumah. Jati pup sembarangan begitu, berarti ia tidak lagi sanggup keluar rumah. (Bila pintu tertutup, Jati dan Jeta bisa keluar masuk rumah melalui eternit).

Saya semakin khawatir dengan keadaan Jati. Saya memberinya lagi kuning telur dan antibiotik. Ia lebih banyak bergelung dalam kardus yang saya sediakan. Setiap pup atau pipis, susah payah ia keluar dari kardus. Ia tertatih masuk ke kamar bila pintu sedang terbuka. Sebentar saya biarkan ia tidur di kamar, kemudian saya angkat lagi ke tempatnya. Jeta setia menemani dalam kardus. Menjilati tubuh Jati atau hanya tidur saling menempel. Sesekali Jeta keluar dari kardus, pergi ke luar rumah, dan ia selalu ribut setiap Jati keluar dari kardus.

Melalui seorang teman di facebook, sekitar jam dua siang saya mendatangi satu-satunya praktek dokter hewan di Binjai. Jati tidak saya bawa, karena saya pikir sebaiknya konsultasi terlebih dulu. Saya akan bawa Jati bila sang dokter meminta. Sudah saya buang segala gengsi dengan keadaan Jati yang kurus, kucel dan bau. Yang penting Jati selamat, itu yang ada di kepala saya.
Sedikit mencari-cari, ketemu juga dengan tempat yang direkomendasikan teman di facebook.  Walau tiang prakteknya masih ada (bingung apa namanya), tempat itu sudah beralih fungsi menjadi usaha foto kopi. Menurut pengusaha foto kopi itu, mereka sudah lama berada di situ dan mereka tidak tahu ke mana sang dokter hewan pindah.

Saya mendatangi khusus penjual makanan kucing dan anjing. Mungkin dia tahu obat apa yang seharusnya saya berikan pada Jati. Sayangnya sang penjual selalu menjawab ‘nggak tau’ untuk apa pun yang saya tanyakan. Jalan terakhir adalah apotik. Dengan sok pintarnya saya minta obat untuk dehidrasi. Dikasih cairan dalam botol kecil. Saya beli dua, ditambah madu.

Dalam perjalanan pulang saya menimbang, apa sebaiknya Jati saya bawa ke Medan? Di Medan tentu ada beberapa praktek dokter hewan. Niat itu patah akhirnya. Hanya saya yang menginginkan Jati selamat. Saya tidak siap ditertawakan oleh siapa pun. Saya tidak mau orang mendengar sampai segitunya saya demi kucing sekarat.

Saya beri Jati cairan itu sekitar 5-7 jarum suntikan kecil. Dengan jadwal sesuka saya. Saya beri juga madu dicampur kuning telur. Setiap Jati menutup giginya rapat-rapat hingga mulutnya tidak terbuka, saya selalu bilang: Jati, kau mau idup, nggak?

Dia mengerti atau hanya kebetulan, setelah saya bilang begitu, mulutnya dengan mudah bisa terbuka ketika disuapi. Setiap selesai saya berikan cairan itu, Jati menatap saya. Matanya tidak seperti sedang sakit. Masih sama seperti  biasanya. Saya sedih melihatnya. Saya mengelus-ngelus kepalanya.
Sabtu pagi keadaan Jati tetap sama. Malah saya lihat tubuhnya semakin kurus, hanya tinggal bulu dan kulit. Ia masih dengan susah payah keluar dari kardus untuk pup atau pipis. Ia masih berusaha masuk ke kamar bila daunya terbuka. Jeta masih setia menemaninya.


Minggu, 9 Oktober siang, Jeta menemani Jati, menjilati sekitar wajahnya.

Entah dari mana saya berkeyakinan penyebab keadaan Jati begitu karena dehidrasi. Jadi mulai pagi Sabtu itu, saya memberinya cairan setiap jam, takaran 5 sampai 7 jarum suntikan. Sabtu malam itu saya membawa Jati (diikuti Jeta) ke ruang nonton. Kardus Jati dan wadah pupnya saya letak di sudut. Saya tidur di situ supaya bisa memberinya cairan setiap jam. Saya teringat memberinya cairan jam dua pagi, lalu saya ketiduran.

Hingga saya terbangun, tapi malas membuka mata. Saya tetap berbaring sebentar, saya mencium bau yang menyengat. Saya berpikir pastilah itu aroma pup Jati. Saya melihat jam di layar ponsel, jam empat lewat. Saya berbalik, ternyata Jati tidur di sebelah saya.
Tubuh Jati lebih hangat, tidak sedingin biasanya. Bulunya pun sedikit lebih cerah. Sedikit keyakinan timbul dalam hati, Jati akan kembali sehat. Saya beri lagi ia cairan. Tapi saya ketiduran sampai jam sembilan pagi. Jati drop kembali.

Sekitar jam dua siang saya berpikir, tidak mungkin Jati hanya saya beri cairan itu. Ia butuh makanan. Jadi saya kasih susu dan kuning telur. Mulutnya mudah terbuka hanya untuk satu dua jarum suntik. Lagi-lagi saya bilang: Jati, kalau mau idup, buka mulutnya!

Mulutnya mudah terbuka. Ia menatap saya selepas saya beri makan. Saya mengelus-ngelus kepalanya dengan dada sesak. Saya iba melihatnya. Merasa bersalah juga karena lalai mengobati sakitnya.
Jam empat sore, Jati pup di dalam kardus. Ia tidak sanggup lagi  keluar dari sana. Ketika saya angkat, pipisnya bercucuran. Sangat banyak. Di situ saya sadar, usaha saya memberinya cairan hanya memperlambat ‘kepergian’nya. Bukan mengobati sakitnya. Di mata saya, Jati sangat menderita dengan keadaannya.

Saya bersihkan pupnya, mengeringkan bagian belakang tubuhnya dan mengganti kain lapis kardusnya. Saya beri lagi cairan. Di situ saya memutuskan, itu terakhir kalinya saya beri ia cairan. Biarlah Jati ‘pergi’. Jati berbaring lagi di kardusnya. Saya mengelus kepala dan punggungnya. Ia menatap saya. Lalu saya bilang kalau saya ikhlas Jati pergi.

Saya tutup kain tubuhnya sebatas leher. Kardus saya tutup tidak sempurna, untuk sirkulasi udara kemudian saya angkat ke sudut dapur.

Sudah saya putuskan tidak akan melihatnya lagi. Mungkin sampai besok.

Jam tujuh malam, keputusan itu saya langgar. Saya tidak tega. Saya melihatnya lagi. Leher Jati seperti mendegut ludah karena haus. Saya beri lagi ia cairan itu. Ia mau minum namun matanya tidak lagi terbuka. Alas tidurnya basah karena pipis dan juga pup, saya lapisi dengan salah satu kemeja saya. Saya mengelus kepalanya sebelum meninggalkannya. Lagi-lagi saya bertekad itu terakhir kali saya melihatnya dan memberinya minum.

Jam sebelas lagi-lagi tekad itu saya langgar. Saya melihat Jati lagi. Lehernya mendegut-degut, sesekali mulutnya mencecap. Saya beri lagi cairan itu. Saya periksa alas tidurnya, masih kering. Saya menimangnya dengan air mata bercucuran. Saya berbisik di telinga Jati, mengucapkan terima kasih karena ia sudah menemani saya selama tiga tahun ini. Saya meminta maaf karena tidak mampu menyelamatkannya, saya lalai dengan kesehatannya. Dengan terisak saya bilang saya ikhlas ia pergi. Kelak lahirlah kembali menjadi anak Jeta. Saya mencium wajahnya.

Saya menangis dengan Jati di timangan saya. Air mata saya berjatuhan di wajahnya. Seolah Jati adalah bagian dari keluarga saya, bukan hanya seekor kucing kampung.
Air mata saya semakin bercucuran ketika Jati mendengus. Mungkin ia berusaha mengeong. Setau saya, ia tidak pernah lagi bersuara beberapa hari itu. Tubuhnya yang kurus menggeliat dalam timangan saya. Saat itu tahulah saya, Jati memaafkan saya.

Saya tidak bohong saat mengatakan ikhlas Jati pergi. Saya sangat ikhlas, walau memang sedih. Saya tidak tega melihat keadaannya. Bersama saya hidupnya tidak buruk, ia kucing yang manis. Tapi kenapa di ujung hidupnya ia harus menderita?

Itulah hari terakhir saya melihat Jati masih bernapas. Besok paginya sekitar jam delapan, tubuhnya sudah kaku dan dingin. Saya perhatikan posisi tidurnya, bahkan letak kaki dan kepala, tidak berubah saat seperti ia saya letak di kardusnya.

Mungkin Jati pergi tidak lama setelah saya tinggalkan pada malam itu.
Pagi itu saya menangis lagi. Saya ikhlas Jati pergi. Namun bila diberi pilihan, saya lebih memilih cara kepergian Desi atau Jejer, mereka menghilang dari rumah saat keadaan sakit.
Belum jam sembilan Jati sudah berada di rumah abadinya. Di belakang rumah kami.
Jati sudah pergi


Lama Jeta menemani Jati yang sudah pergi


Untuk mengurangi kesedihan, saya menghibur diri, sekarang Jati berada di Titian Bianglala. Saya lupa pernah membaca di mana, setiap hewan peliharaan yang telah pergi akan berada di Titian Bianglala. Titiang Bianglala merupakan sebuah taman yang luas. Di sanalah hewan peliharaan yang telah pergi berkumpul. Mereka bermain, bercanda, berlari, dan bahagia selamanya. Hingga tiba pada satu masa, Jati berhenti bermain. Jati menatap pada satu titik di kejauhan. Titik itu semakin besar, besar, besar dan nyata.


Lalu Jati berlari, berlari kencang, semakin kencang menuju titik yang semakin besar itu. Sosok itu adalah saya.  Setelah dekat, Jati melompat ke pelukan saya. Jati menjilat wajah saya, menatap wajah saya sembari mengeong ribut, seolah bertanya mengapa sangat lama saya datang.

Makam Jati bernisankan botol obatnya, hanya beberapa meter di belakang rumah. Jeta melihat di rimbunan semak.


 Selamat jalan Jati, bahagialah di Titian Bianglala.






6 komentar:

  1. Sedihnya baca cerita Jati ini, Bang Sandi.
    Pasti Jati sudah senang di Titian Bianglala.
    Semoga segera dapat pengganti Jati, Bang Sandi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih, Mas. Harapannya Jeta (saudari Jati) melahirkan dan anaknya mirip Jati. :)

      Hapus
  2. Jati kini sudah pergi, bahagia bersama saudaranya di Titian Bianglala

    Titian Bianglala? yah saya baru tahu di post ini, kalau ada tempat berkumpul para hewan yg sdh tdk du dunia ini mereka berada di tempat yg disebut dengan Titian Bianglala

    terimaksih
    salam

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mungkin hanya sekadar 'membahagiakan' para pemilik hewan kesayangan setelah ia pergi. Entahlah. :(

      Terima kasih sudah berkunjung.

      Hapus