Beberapa waktu lalu. Saya sempatkan pulang kampung
halaman. Sebuah desa tidak jauh dari Pangururan, ibukota Kabupaten Samosir.
Ditemani kopi, saya habiskan waktu bersama sepupu yang tinggal di kampung itu.
Banyak hal kami bincangkan. Tentang ladang yang kerontang. Tentang pora-pora
yang telah langka mendiami Danau Toba. Juga tentang kehidupan masyarakat di
sekitar situ. Hingga akhirnya perbincangan berhenti pada seorang kerabat jauh.
Ia seorang pemuda. Menurut sepupu saya, pemuda itu seorang pengisap ganja.
Bahkan sudah mulai mencoba sabu-sabu. Pemuda itu sudah pernah berurusan dengan
pihak berwajib.
Saya tersentak. Kampung yang terlihat begitu tenang,
bahkan senyap, telah dimasuki barang haram tersebut? Melihat kepolosan
orang-orang di sana, mustahil rasanya mereka berkenalan dengan barang
‘mematikan’ itu.
Kampung saya itu, selain ‘dimasuki’ narkoba. Ternyata juga telah
dimasuki maling. Berdasarkan cerita sepupu, beberapa kali ternak warga hilang.
Jadi begini. Orang di kampung saya, setiap pagi terbiasa membawa ternaknya,
seperti kerbau dan kambing, ke sebuah lapangan penuh rumput. Ternak diikat di
situ, ditinggalkan, siang hari dipindahkan. Kemudian dibawa pulang ketika sore.
Setahu saya, tidak pernah ada laporan kehilangan
ternaknya dari tempat tersebut. Kalaupun ada, hanya hilang sementara karena
ikatan pada ternak terlepas. Artinya, ternak akan diketemukan di tempat lain
atau malah pulang sendiri ke kandang.
Tidak berlebihan bila akhirnya saya menghubungkan
maling dengan pemakai narkoba. Butuh uang banyak untuk mendapatkan narkoba
sebab ia tidak seharga permen. Pemakai narkoba akan melalukan cara apapun
supaya ia bisa mendapatkan narkoba. Termasuk, tentu saja, mencuri.
Berdasarkan berita di media massa, ternyata kampung
saya bukan satu-satunya perkampungan yang terkontaminasi narkoba. Di
perkampungan yang ada di Sumatera Barat atau Sulawesi Barat misalnya. Menurut
data, kasus narkotika di pedesaan yang ditangani pihak berwajib bahkan
mengalami peningkatan yang cukup signifikan.
Narkoba, entah jenis apapun, sekarang telah
menyentuh semua lapisan dalam masyarakat. Benda laknat itu tidak lagi melulu
merusak orang kota maupun orang kaya. Ia sudah menyebar ke kampung-kampung dan
merusak orang, maaf, miskin.
Menurut Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa,
penggunaan narkoba masyarakat Indonesia terus meningkat. Bila pada Mei 2016,
menurut data di BNN, rakyat Indonesia menghabiskan uang sekitar 63 triliun
rupiah untuk mengkonsumsi narkoba. Maka data terbaru sudah mencapai 72 triliun
rupiah.
Jumlah yang sangat fantastis. Sekaligus mengerikan
karena pengedar narkoba sekarang mulai menyasar anak-anak usia dini sebagai
pasar mereka. Maka sebenarnya tidaklah mengherankan bila orang kampung pun
terjangkiti olehnya. Sebab, pengedar tidak lagi duduk manis menunggu pembeli.
Mereka turut aktif mencari konsumen. Bahkan bukan hanya mencari, namun juga
menjebak calon konsumen hingga memiliki ketergantungan kepada benda haram itu.
Seperti yang tertulis di awal, masuknya narkoba ke
kampung saya diiringi dengan hilangnya ternak warga. Bila narkoba semakin
merajalela, kelak, kejahatan akan semakin brutal. Bukan hanya pencurian,
perampokan disertai pembunuhan bisa terjadi.
Keluarga sebagai Benteng
Dari banyak kasus narkoba yang terungkap oleh pihak
berwajib, kebanyakan pemakai narkoba terkontaminasi oleh teman-temannya. Bisa
disimpulkan pemakai narkoba berasal dari pergaulan yang salah. Berhubung harga
narkoba tidak murah, seorang pemakai harus memiliki uang untuk mendapatkannya.
Akhirnya, selain pemakai sekaligus ia menjadi pengedar. Pengedar ini akan
mencari konsumen baru. Konsumen baru kelak berkembang menjadi pengedar. Kembali
lagi ia mencari konsumen baru. Ini salah satu penyebab begitu cepatnya pengguna
dan pengedar narkoba berkembang.
Faktor ekonomi dan kurangnya pengawasan orangtua
ditengarai faktor utama seseorang terjerat narkoba. Keuntungan yang dijanjikan
dari bisnis narkoba seringkali membutakan akal dan hati masyarakat. Sebab itulah, keluarga harus memasang tembok
kokoh sebagai pelindung anggota keluarga dari topan yang bernama narkoba ini. Orangtua
memantau segala aktivitas anak. Istri memantau suami, suami memantau
istri. Jangan anggap remeh segala
perilaku aneh yang ditunjukkan anggota keluarga. Narkoba menimbulkan efek buruk
kepada pemakainya. Seperti misalnya, anak tidak patuh pada orangtua, ataupun
suami melupakan tanggungjawab sebagai kepala rumah tangga.
Penutup
Selama ini desa atau kampung identik dengan suasana
yang harmonis, kekeluargaan yang kuat, santun, religius, namun juga masih
memegang teguh adat dan istiadat. Masuknya
narkoba ke kampung diyakini sedikit demi sedikit akan mengikis semua itu.
Maka dari itulah, segala lapisan harus bersatu
menghalau narkoba dari kampung. Perlu dijalin kerja sama antara pemerintahan,
kepolisian, sekolah-sekolah, tokoh agama, bahkan masyarakat dan orangtua. Semua harus menjadi mata dan telinga untuk
memerangi narkoba.
Diperlukan inovasi dalam kampanye anti narkoba.
Tidak cukup hanya memasang spanduk
maupun baliho di tepi jalan. Sesuatu yang aktif jauh lebih bermanfaat dan tepat
sasaran.
Di kampung saya. Seratus persen penduduk di sana
beragama Kristen. Diharapkan gereja lebih berperan aktif untuk mengokohkan
iman, khususnya, remaja di sana. Kegiatan keagamaan lebih diperbanyak. Demikian
juga di sekolah. Sekolah adalah tempat yang pas untuk membangun akhlak remaja.
Sementara di rumah, tugas orang tua memupuk cinta.
Ketiga unsur tersebut, iman, moral, dan cinta,
merupakan perpaduan yang kokoh untuk membentengi hantaman dasyat narkoba.
***
*Dimuat di Rubrik Opini Harian Analisa, 23 November 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar